Sebuah Otoritas Tuhan atas Nabi*
“Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan aku memberi nasehat kepadamu. dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui ” (Nuh As.)
Adalah nabi yang di percaya sebagai pembawa risalah tuhan. Secara sederhana manusia tetntu tidak mungkin mampu berinteraksi dengan tuhan yang menciptakannya dengan berbagai alasan. Mulai dari perbedaan secara transendensi, akal dan cultural logic yakni antara pencipta dan yang diciptakan. Barang kali perkataan nabi Nuh yang sederhana itu seolah membawa kekuatan super yang tidaklah mampu dicapai oleh orang lain. Nabi diciptakan guna untuk menjadi perantara antara manusia dengan tuhannya dengan konsekuensi tidaklah mungkin ada nabi yang menyembunyikan apa yang seharusnya ia sampaikan pada manusia. Maka tidaklah pantas kita berprasangka bahwa tidak mampu menyampaikan sesuatu kepada manusia secara langsung.
Tidaklah mengherankan jika ada yang dikatakan mengapa Allah tidak mendatangkan pada manusia seorang malaikat yang dipercaya tidka pernah berbuat salah? Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang sebenarnya hanya akan membuat dirinya jauh dari sifat mengahmba kepada tuhan yang memeiliki otoritas satu-satunya di dunia ini dan jika demikian malah hanya membuat ketidak mampuan tuhan itu sendiri. Secara sederhana dengan pemikiran anak kecil akan mengatakan itu sudah kehendak Allah. Denga kata lain sebuah otoritas yang bukan lagi untuk diperdebatkan, namun dalam perjalanannya islam sebagai agama yang mempercayai Allah sebagai tuhan kadang kala keluar dari perdebatan yang berujung pada pecahya suatu jamaah dalam keislaman ini. Maka jika ada yang mengatakan bahwa tuhan haruslah melakukan hal seperti ini dan harus berlaku seperti ini. Sebut saja bahwa kemausiaan harus dimunculkan dahulu dari pada hanya
Dalam epistemology filsafat islam yang paling memunculkan polemic dan sering dibahas adalah masalah nabi. Bukan karena apakah nabi itu benar auatu salah, namun apakah sebenarnya kenabian itu. Dalam hal epistemology ilmu pengetahuan sering diidentikkan dengan bagaimana pengetahuan itu bias muncul dan di dapatkan. Pada kajia yunani tentunya ada dua hal yang sering menjadi primadona yakni indra dan akal atau rasionalitas. Pengetahuan hanya bias didapat dengan indra dan akal yang akan mengkonsepsi apa yang ada. Pada awalnya mungkin terkesan itulah yang benarkarena manusia dikaruniai oleh tuah berupa akal yang mampu mendefinisikan sesuatu bahakan untuk mendefinisikan tuhan sekalipun harus bias secara akal indrawi. Walau pada akhirnya banyak yang justru menjauh dari makan ketuhanan dan hanya membuat tuhan sendiri, maka tak ayal jika ada yang mengatakan tuhan hanyalah ciptaan manusia karena jika manusia tidak berfikir tentang tuhan maka tuhanpun tak ada. Demikian kesimpulan akhir tentang tuhan bagi mereka yang menuhankan indra dan akal.
Namun ada sebuah antithesis yang luar biasa mengganggu mereka kaum rasionalis yakni tentang adanya nabi, kenapa demikian? Karena nabi menerima wahyu dari tuhan yang justru dinilai sebagai sesuatu yang tak ada. Mungkin jika yang dianggap wahyu atau kalam tuhan itu tidak masuk akal dan hanya imajinatif dan tak mungkin adanya, mereka justru akan menertawakan para nabi tersebut dan menganggapnya orang gila. Namun justru masalahnya adalah ternyata yang wahyu atau kalam tuhan itu adalah benar, rasional, dialektik, logis bahkan empiris apa yang sebenarnya terjadi, dari mana pengetahuan itu bias didapatkan? Maka dengan itulah dalam kajian filasafat islam dikenal dengan isyraqi atau menggunakan istilah barat illuminasi (walau itu sama namun tak identik). Isyraqi dimakanai sebagi suatu pengetahuan yang muncul dari kedekatan manusia dengan sebuah transendensi yakni tuhan, karena ialah yang maha mengetahui segalanya.
Lalu pertanyaan berikutnya mungkinkah isyraqi bisa diadakan sebuah pembuktian ulang, karena dalam idealism para pemikir bahwa setiap teori yang baku pasti bisa di adakan pembuktian ulang sebagaimana teori pada umumnya. Jawaban atas pertanyaan ini adalah bahwa isyraqi adalah kekuasaan tuhan sebagi suatu yang transenden dan maha berkehendak, maka dengan segala apapun hal itu hanya akan muncul dengan kehendak tuhan dan bukan di suruh atau atas perintah manusia. Itulah ontology yang dibawa kaum muslim bahwa Allah sebagai tuhan adalah maha berkehendak atas segala sesuatu.
Sebagai kaum muslim jika mendengar istilah isyraqi mungkin tak terlepas dari seorang Suhrawardi yang juga merusmuskan kaidah isyraqi namun karena terlalu jauh bahkan menganggap dirinya mampu setingkat dengan nabi maka iapun mati ditiang gantungan sehingga terkenal dengan sebutan Suhrawardi Maqtul. Namun disini bukanlah untuk mendiskusikan bagaimana Suhrawardi akan tetapi bagaimana dan untuk siapa sebanarnya isyraqi itu? Karena bagaimanapun pemberian ilmu dari yang maha ilmu dan berbeda dimensi akanlah sulit bagi kita untuk mendefinisikan, namun setidaknya kita bisa tahu dari identifikasi manusia yang pernah tuhan beri karena itulah otoritas tuhan.
Dalam penfinisian awal Imam al-Ghozali membedakan pada tiga definisi yakni, pertama mukjizat yaitu bagi para nabi dan rosul diperintah oleh allah sebagi penyampai berita pada manusia seningga disebut sebagai nabi. Kedua, karomah yaitu bagi mereka para wali yang dekat dengan tuhan dan deberi beberapa keutamaan, dan ketiga yakni maunah yakni pengetahuan bagi mareka manusia pada umumnya baik baik berupa mimpi maupun firasat tertentu, maka janganlah heran jika seringkali kita mempunyai firasat maupun mimpi yang menjadi suatu tanda akan terjadinya sesuatu.
Hal terakhir yang muncul adalah, lalu dimana letak isyraqi itu, apakah pada ketiganya ataukah salah satu saja? Jawaban dari pertanyaan ini adalah hanya pada nabi dan rosulnya dan inilah yang membedakan dengan isyraqi model Suhrawardi Maqtul. Setidaknya ada dua alasan utama yakni; pertama mukjizat yang dikhususkan pada nabi digunakan untuk menunjukkan keagungan tuhan dan komunikasi tuhan pada manusia, sedang baik para manusia pada umunya maupun wali hanya menunjukkan adanya pertolongan Allah pada hambanya. Kedua, wahyu yang dalam hal ini tuhan memberikan alquran sebagai revisi terakhir akan kitabnya setelah beberapa kitab sebelumnya merupakan Way of Life atau jalan yang smepurna dan deperuntukkan bagi siapapun, dimanapun dan waktu kapanpun akan sesuai hingga Allah yang menghendaki berakhirnya peradaban manusia sedang baik karomah maupun maunah diberikan adalah sesuai untuk waktu dan tempat tertentu, dan mungkin hanya sesekali saja.
Dan dari semua itu kita sebagai manusia biasa tentunya selalu mencoba untuk meminta maunah apda Allah karena dialah sang pemberi petunjuk hidup. Dan dengan mengikuti rosulnya itulah wujud kedekatan kita pada Allah swt, memohon ampun padanya dan mengharap ridhonya. Sebagaimana perintahNya yang terucap pada rosulullah dan terukir dalam al-quran. In kuntum tuhibbunallah fa ittabi’unii yuhbibkumullah. Wallahu a’lam.
*Muhib Rosyidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar