Menuntut Peran IMM dalam Idealisme Gerakan Mahasiswa
Oleh: Paski Hidayat[1]
Pendahuluan
Dalam sejarah Indonesia modern ( baik pra dan paska kemerdekaan), mahasiswa sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang terdidik yang (dianggap) memilki pengetahuan yang memadai(intelektualitas),mengusai disiplin keilmuan (kompetensi) tertentu telah memberikan peranan dan pengaruh yang cukup signifikan dalam menggerakkan roda sejarah bangsa sekaligus menciptakan perubahan sosial di negeri ini. Keterlibatan mahasisiwa (kaum terpelajar) dalam aktivisme sosial dan politik tidak bisa dilepaskan dari konteks situasi zamannya (generasi/angkatan) yang mendorong dan memaksa mereka untuk terlibat dan melibatkan diri dalam gelanggang gerakan sosial untuk mengkritik kebijakan-kebijakan penguasa yang dianggap tidak adil,menindas dan merugikan masyarakat luas (baca: rakyat).
Selama ini mahasiswa diidentikkan sebagai salah satu aktor sosial atau aktor perubahan sosial (social change), yang fungsinya mengawal dan mengkontrol kebijakan-kebijakn penguasa dan mengangkat permasalahan-permasalahan sosial yang sedang terjadi dalam masyarakat. Tahun 1960 ada sebuah perdebatan panas yag melibatkan mahasiswa dan teoritisi sosial berhubungan dengan pertanyaan apa, termasuk aktor sosial manakah mahasiswa itu. Apakah mahasiswa bisa dikelompokkan dalam kelas sosial? Apakah mereka subjek revolusioner? Kontroversi ini melahirkan gerakan new left di Amerika.Menurut Habermas,seorang teoritisi sosial kritis mazhab Frankfurt, gerakan mahasisiwa harus diletakkan dalam dunia simbolik,dalam pengertian bahwa ia dianggap menciptakan pemahaman baru dan memperluas ruang public (public sphere).protes nahasiswa dipahami sebagai dasar simbolik siginfikan,asalkan ia bersifat nonkekerasan dan aktivisnya tidak menyalahpahami dirinya sebagai aktor revolusioner langsung.[2]
Seperti sudah kita ketahui bersama dalam penulisan sejarah Indonesia,khususnya yang berkaitan dengan keterlibatan kaum muda dalam proses membangun bangsa ini selalu dikaitkan atau dihubungkan dengan pemilihan waktu(periode) dan generasi (angkatan). Kegemaran penulisan model sejarah seperti dijelaskan di atas dibenarkan oleh seorang akedemisi perancis,Francois Raillon yang menulis buku tentang “ Politik dan Ideologi mahasisiwa Indonesia”. Menurutnya “ saat-saat yang menentukan dalam sejarah Indonesia selalu dihubungkan dengan munculnya satu generasi baru. Generasi baru itu selalu melangkah lebih jauh dalam membawa obor perjungan obor perjuangan kemerdekaan dan kemajuan. Visi yang agak bersifat kekelurgaan dari sejarah Indonesia itu mulanya muncul bersama angkatan 1908 yang ditandai dengan bangkitnya nasionalisme. Lalu disusul dengan angkatan 1928 sebagai generasi “sumpah pemuda”. Angakatan ’45, yaitu angkatan Kemerdekaan,meneruskanya. Akhirnya muncul angakatan ’66 yang melahirkan Orde Baru.[3]
Setelah Orde Baru terbentuk,harapan dan cita-cita dikehendaki oleh masyarakat,termasuk mahasiswa ternyata “jauh panggang dari pada api” bahkan sebaliknya Orde Baru yang dipimpin oleh Jenderal Suharto membangun rezim yang jauh lebih buruk dari rezim sebelumnya (Orde Lama). Ironisnya,beberapa dari pemimpin-pemimpin Mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang merupakan perhimpunan dari federasi organisasi mahasiswa ekstra dan intra kampus;HMI,GMNI ASU,PMKRI,GMKI,PMII,IMM dll yang terlibat dalam penggulingan presiden Sukarno,justru terserap dan terjerumus dalam arus kekuasaan. [4]
Mendayung di antara dua karang: Gerakan Moral atau Gerakan Politik (idealisme atau pragmatisme)
Awal tahun 70-an lahirlah generasi baru mahasisiwa yang tidak puas dan kecewa dengan kepemimpinan Suharto dan mereka mengkritik angkatan 66 yang sudah tidak berdaya dan kehilangan daya kritisnya. Pada tahun ini lahirlah gerakan protes mahasisiwa yang terjadi pada tahun 1974 (Malari) dan mencapai klimaks pada gerakan protes tahun 1977-78.[5] Pada era 70-an Arif Budiman menggulirkan dan mengkategorikan gerakan-gerakan protes mahasiswa sebagai gerakan moral (moral Force). Dalam konsepsi ini,mahasiswa bertindak sebagai gerakan mora daripada gerakan politik,dalam arti bahwa mahasiswa muncul sebagai actor politik ketika situasi bangsa sedang krisis,setelah krisis berlalu kemudian kembali ke kampus untuk belajar. Arief menyebut gerakan ini sebagai gerakan koreksi. Gerakan ini sifatnya hanya melakukan kritik terhadap suatu permasalahan. Gerakan ini merasa tidak perlu mengumpulkan masa yang besar dan melengkapinya dirinya dengan ideology. Konsep gerakan moral yang dicetuskan Arief Budiman mengambil contoh dari seorang koboi,shane. Shane datang ke suatu kota kecilYang penuh dengan bandit kejam,dan lalu berhasil. Tapi ketika kemudian dia (shane) diminta oleh para penduduk kota yang diselamatkan untuk menjadi sheriff di kota itu dia menolak. Shane lalu pergi begitu saja. Makna dari ilustrasi ini adalah bahwa gerakan mahasiswa tidak boleh pamrih dengan kekuasaan dan tidak boleh memilki vested interest. Seperti shane,gerakan mahasiswa harus tulus[6]
Pemerintah Orde baru menagkap dan memenjarakan aktivis-aktivis mahasiswa, membubarkan Dewan Mahasiswa (DM) dan memberlakukan sistem NKK/BKK yang mencoba untuk mengkooptasi dan mendepolitasi gerakan mahasisiwa. Sejak pembrangusan 'pemerintahan mahasiswa' (student government) di kampus-kampus perguruan tinggi, politik mahasiswa kehilangan orientasi. Proses reorientasi mulai berlangsung pada dasawarsa 1980-an, di mana beberapa aktivis melakukan otokritik. Sebagian mahasiswa mulai belajar teori-teori pembangunan, ketergantungan dan marxisme. Mereka membentuk sejumlah kelompok studi/ diskusi. Mereka juga mulai berhubungan dengan kelompok-kelompok swadaya masyarakat yang belakangan dikenal dengan singkatan LSM. Dari menara gading, mereka ingin turun ke bawah, atau dari berteori ingin berpraktik. Dari mereka muncul pertanyaan: pembangunanyang dijalankanuntukkepentingansiapa?
Mahasiswa 1980-an mulai menemukan realitas bahwa hasil pembangunan bukan lagi 'menetes ke bawah' (trickle down effect), melainkan telah memiskinkan rakyat. Keprihatinan mereka timbul ketika menemukan proyek-proyek perkebunan inti rakyat (PIR) dan penggusuran penduduk dari lahan garapan di pedesaan maupun penertiban pedagang kecil dan sektor informal di perkotaan yang menghancurkan penghidupan rakyat. Mereka kian prihatin dengan sengketa lahan ketika rakyat Badega (Garut), digusur untuk lahan perkebunan dan rakyat Kedungombo (Jateng), disingkirkan untuk pembangunan waduk. Dari sinilah mahasiswa mengangkat kredo: “rakyat adalah tumbal pembangunan”, “rakyat sebagai korban pembangunan”.[7]
Bila dilihat dari fase sejarah gerakan mahasisiwa (1908-1998) ada beberapa strategi yang selama ini diterapkan dalam melancarkan protes dan menyebarkan kritik terhadap kekuasaan. Pertama, membuat organisasi sebagai wadah perjuangan dan mengembangkan jaringan. Kedua, membentuk dan menyelenggarakan forum diskusi. Ketiga, Unjuk Rasa (demontrasi). Ke-empat, membuat media (pers mahasiswa), Kelima. Melakukan pendampingan langsung ke masyarakat (advokasi)
Peran dan Posisi IMM dalam Percaturan Gerakan Mahasiswa Indonesia
IMM sebagai salah sato ORMAWA yang dilahirkan dari rahim Muhammadiyah adalah bagian dari salah satu organisasi berbasis kempus yang ikut memberikan kontribusi dalam gelanggang perubahan sosial tersebut. Bila kita cermati secara serius dari sejak kelahiranya sampai saat ini, terpapar jelas bahwa peranan IMM-bila dibandingkan organasisasi mahasisiwa (HMI,PMII,GMKI,PMKRI GMNI KAMMI dll) lainnya, peranaannya justru jauh lebih sedikit (minimal),bisa dikatakan tidak progressif,apalagi radikal dalam menuntut perubahan-perunahan sosial. Bebrapa kader IMM sudah menyadari kondisi kesejarahan ini,dimana IMM selama ini (khususnya paska angkatan 66)) tidak berusaha memaksimaksimal peran n fungsinya untuk terlibat dan melibatkan diri dalam gelanggang gerakan-gerakan mengkritik dan mengugat kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan masyarakat luas(public).IMM sebagai organisasi mahasisiwa mengalami kebekuan,kemunduran dan infertalitas. Salah satu penghambat kader-kader IMM untuk mengembangkan kelembagaan dan memperluas arah gerakannya adalah disebabkan IMM merupakan sub-ordinasi (organisasi otonom), dari struktur besar Muhammadiyah. Kondisi ini menyebabkan IMM sebagai organisasi otonom sulit mandiri dan keluar dari belenggu formalitas induknya dan cendrung berfokus pada kegiatan-kegiatan seremonial.
Menurut aktivis IMM, Deni al-Asyaari Selama orde baru berkuasa (1967-1998) IMM sebagai organisasi kemahasiswaan relative absen (hamper bisa dikatakan tenggelam) dalam mengikuti perkembangan issu sosial dan politik, ekonomi,HAM,gender,penggusuran,militerisme,pemebrantasan korupsi sehingga kondisi ini membuat IMM terbelenggu dengan aktivitas rutin dan mengalami kevakuman yang relative cukup lama sehingga saat organisasi-organisasi mahasiwa lainya sudah mulai bergerak melncarkan protes dengan beragam startegi,membangun jaringan dengan organisasi-organisasi lainya,bahkan membangn jaringan dan terlibat langsung dalam advokasi masyarakat untuk melawan kebijakan-kebijakan Negara, IMM sebagai organisasi masih “asyik masyuk” dengan dunia sendiri.menurutnya saat itu IMM sebagai organisasi bisa dikatakan tidak mandiri,sebab dalam banyak pergolakan yang terjadi,selalu digantungkan terhadap organisasi induknya, Muhammadiyah. Maka disaat reformasi dikumandangkan yang berperan lebih banyak buknlah IMM,melainkan Muhammadiyah itu sendiri. Menurutnya kondisi ini merupakan pil pahit yang harus ditelan secara jujur oleh aktivis IMM.[8]
Aktivis-aktivis IMM berusaha untuk keluar dari belenggu dan cengkeraman kevakuman.paska reformasi 1998,Piet Haidir seorang aktivis IMM Cabang Ciputat mencoba mendobrak kebuntuan kultur dan system ke-organisasian dengan mengorganisasikan kembali kekuatan internal untuk mengkonsolidasikan dan mensolidkan barisan kaum muda ditanah Air dengan membentuk BOKMN (Barisan Oposisi Kaum Muda Nasional) dan BOB (Barisan Oposisi Bersatu) di awal tahun 2000-an sebagai kekuatan bersama kaum muda untuk mengawal cita-cita reformasi. Sebagian Angkatan Muda Muhammadiyah (termasuk di dalamnya aktivis IMM) berusaha masuk ke ranah pengembagan dan penguatan intelektualitas dengan mendirikan wadah baru “ Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah( JIMM)” Dalam perjalanannya wadah baru ini,justru di gembosi dari dalam,sehingga para aktivis Muhammadiyah yang memiki potensi untuk memberikan pemikiran-pemikiran alternative tidak bisa mengembangan,memperluas dan mempengaruhi kultur dan kebekuan organisasi. Kondisi ini membuat kader-kader muda Muhammadiyah frustasi di dalam,sehingga memtuskan untuk menyebar dan masuk ke lembaga-lembaga lain yang bisa mengapresiasi dan mengakomodir pemikiran-pemikiran mereka.
Penutup
Dalam 12 tahun terakhir sejak reformasi digulirkan dan dipelopori oleh gerakan mahasisiwa (bukan monopoli), banyak perubahan sosial politik yang terjadi di Indonesia. Perubahan-perubahan ini tercermin dari proses demokratisasi yang sampai saat ini berjalan cukup baik dan terarah. Menurutnya survey dan riset-resit yang dilakuan Demos (Lembaga kajian Demokrasi dan Hak Azasi) dalam kurun waktu 2003-2004 hingga 2007 Indonesia telah mengarah ke suatu model konsolidasi demokrasi “to down” yang didominasi oleh elit yang begito dominan. Instrument-instrumen demokrasi yang berkaitan dengan tata pemerintahan (seperti rule of law,anti-korupsi da akuntabilitas) telah membaik-meskipun tetap berada di bawah standar yang rendah. Komunitas politik di tingak local juga semakin berkembang menggantikan Negara-bangsa yang tersentralisasi-meskipun komunitas baru itu tetap bersifat elitis dan didominasi oleh politik identitas kelokalan serta sangat kuat di pengaruhi oleh globalisasi ekonomi. Kelompok mililter saat ini sudah kembali ke barak dan tidak berusaha untuk terjun dalam dunia politik praktis.
Kondisi keterbukaan ini harus di maanfaatkan oleh seluruh aktor pro demokrasi,termasuk kelompok-kelompok mahasiswa. IMM sebagai organisasi mahasisiwa harus terlibat dan melibatkan diri merespon permasalahan-permasalahan kontemporer; pemberantasan korupsi, penegakan hukum,issu-isu HAM kemiskinan, kesetaraan gender, pendidikan dan kesehatan dll. Kader-kader IMM harus tampil dan mengisi ruang-ruang public tsb. Hal ini perlu dilakukan untuk mendobrak kebekuan di dalam dan juga untuk memperluas area pergumulan kader dalam merespons dan melihat realitas sosial di sekitarnya. Berbagai strategi bisa dilakukan oleh kader-kader IMM baik melalui forum diskusi mingguan yang intens, membuat bulletin mingguan untuk mengungkap keprihatinan dan memberikan sikap terhadap situasi politik yang terjadi pada akhir2 ini, melakukan protes-protes sosial dengan dengan turun ke jalan (demontrasi) dan bila mampu mengadvokasi masyarakat yang selama ini telah menjadi korban pembangunan.
[1] Mantan aktivis IMM Cabang Ciputat. Saat ini bekerja di Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC)
[2] William Outwaite (ed), Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, Jakarta: Kencana,2008,hlm.856.
[3] Francois Raillon,”Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia,Jakarta: LP3ES,1989,hlm.3-4.
[4] Di Tahun 1966,seluruh anggota (parlemen) yang beraliran komunis dipecat oleh Suharto melalui prosedur recalling. Di bulan Februari 1967,menjelang runtuhnya Soekarno seperti sudah disebutkan,maka seluruh anggota parlemen dari PKI dan parta-partai yang dekat dengan PKI oleh Soeharto diganti dengan 108 anggota baru dalam rangka refreshing. Di antara muka-muka baru terdapat 13 orang wakil mahasisiwa natara lain:” Fahmi Idris, Johnny Simanjuntak,David Napitupulu,Mar’ie Muhammad.Liem Bian Koen. Soegeng Sarjadi,Nono Anwar Makarim.Yozar Anwar,Cosmas Batubara dan Slamet Sukirnanto” (Francois Raillon, hlm. 60) kalimat miring dan tanda petik dari penulis.
[5] Pada awal tahun 70-an mahasisiwa indonesia kembali bergerak untuk memprotes kenaikan harga bensin yang mengakibatkan kenaikan harga-harga sembako dan mereka juga menggugat perilaku korup penjabat negara.Menurut para aktivis mahasisiwa,lebih baik memberantas korupsi daripada menaikkan harga bensin. Gerakan ini di motori oleh Victor D,Arief BudimanmSjahrir dan Julius Usman yang menamakan gerakan mereka sebagai gerakan “ Mahasisiwa Menggugat” ( Arief Budiman,Kebebasan,Negara, Pembangunan; Kumpulan Tulisan 1965-2005,Jakarta: Alvabet,hlm.263. pada tahun ini juga, tepatnya thn 1971 Arief Budiman memperkenalkan gerakan GOLPUT.
Malari adalah singakatan dari “Malapetaka 15 Januari” gerakan ini merupakan rangkain issu yang diperjuangkan oleh mahasisiwa 4 thn sebelumnya.mereka juga menentang didrikan Taman Mini Indonesia Indah yang menggunakan uang Negara serta menolak investasi modal asing,khususnya Jepang. Untuk deetailnya silahkan baca tulisan Arbi Sanit,Gerakan Mahasisiwa 1970-1973: Pecahnya Bulan Madu Politik dalam buku karya Muridan S Widjojo dkk, Penakluk Rezim Orde baru: Gerakan Mahasisiwa 1998,Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm. 45. Gerakan protes mahasisiwa tahun 1977-78 lebih focus mengkritik pelaksaaan pemilu yang tidak jujur karena birokrasi sipil dan militer memihak ke Golkar. Mahasiswa ITB membentuk gerakan Anti Kebodohan (GAK) karena mereka meyakini bahwa proses pemilu telah berfungsi sebagai upaya sistematik membodohi rakyat. Gerakan sama tersebar dibeberapa daerah; Jakarta,Jogjakarta dan dibebrapa kota besar. Sebagai reaksi dari gerakan ini pemerintah Orde Baru mengirimkan pasukan militer untuk menduduki Kampus UI,ITB dan IAIN Jkt dan mendepolitasi gerakan mahasiswa dengan mengeluarkan kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan kampus dan Badan Koordinasi Kampus). Suharsih & Ign Mahendra, Bergerak Bersama rakyat: Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Peubahan Sosial,Jogjakarta: Resist Book, 2007,hlm 87.
[6] Muridan S. Widjojo,Wacana Politik Aktivis Gerakan Mahasiswa 1998,dalam Muridan S.,hlm 263-237.
[7] Hendardi, Meletakkan Kembali gerakan Mahasisiwa ke jalur Starategis, Jurnal Indo Progress,3 Septemebr 2009
[8] Deni al-Asyaari, IMM dan Gerakan Kerakyatan: Refleksi Milad Ikatan Muhammadiyah ke 44, 14 Maret 2008) lihat www. Muhammadiyah or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar