Kamis, 22 April 2010

MENILIK POLA KADERISASI IMM DALAM ANALISIS POLITIS

MENILIK POLA KADERISASI IMM DALAM ANALISIS POLITIS

Oleh : Syaifudin Zuhri*

Berbicara IMM adalah berbicara muhammadiyah. IMM sebagai underbow dari muhammadiyah mempunyai usaha untuk menjadi pelopor, pelangsung dan penyempurna cita-cita luhur pembaharuan yang tersimpulkan dalam trinitas IMM atau kerap disebut dengan tiga kompetensi dasar gerakan, yakni intelektualitas, humanitas dan religius.

Sebagaimana dikutip Buya Syafi’i Ma’arif dalam jurnalnya vol. 4 no.1 (2009) bahwa Muhammadiyah bergerak di sektor sosio-religius, pendidikan, dsb yang mengarahkan kepada pemberdayaan masyarakat. Gerakan seabad Muhammadiyah harus merambah ke sektor-sektor lain diantaranya adalah sektor sosial-politik. Tercatat juga oleh Dr. Alfian dalam “Politik Kaum Modernis” (2010) Muhammadiyah bukanlah organisasi yang anti-politik.

Keliru bila kita beranggapan bahwa Muhammadiyah yang tidak mengharuskan bermazhab dalam ilmu fiqh juga tidak terjun ke politik praktis. Sebab, Sepanjang sejarah perpolitikan di Indonesia, ormas yang berhaluan modernis-moderat yang muncul di Yogya tahun 1912 ini, mempunyai peranan penting dalam dinamika politik dan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Di uraikan oleh Deliar Noer dalam “Partai Politik Islam Indonesia” (2005), Muhammadiyah meski dalam khittahnya tidak melegalkan unsur ideologi politik dalam latar belakang kemunculannya di tubuh Muhammadiyah tetapi tetap saja ada persinggungan yang sinergis dengan pergolakan kemerdekaan indonesia.

Di mulai dari kiprah KH. Mas Mansyur yang mendirikan Majlisul Islam A’la Indonesia (MIAI) bersama KH. Chasbulah (NU) dan W. Wondoamiseno (Syarekat Islam) pada 21 september 1937. Tujuannya adalah menjadi wadah pemersatu, organisasi perdamaian dan alat perjuangan politik yang didukung oleh seluruh organisasi Islam (Al-Irsyad, al-khairiyah, al-islam, hidayatul islam , dll). Selanjutnya, beberapa tokoh Muhammadiyah yang dipimpin oleh dokter Soekiman mendirikan Partai Islam Indonesia (PII) pada 4 desember 1938. Partai ini berasal dari forum diskusi islam studie club pimpinan KH Mas Mansyur dan dalam waktu singkat PII bisa mencapai 145 cabang di seluruh Indonesia tetapi vakum ketika pecah perang pasifik.

Pada zaman pendudukan jepang, KH Mas Mansyur bersama Soekarno, Hatta dan Ki Hajar Dewantara, pada 9 maret 1943 mendapatkan mandat dari Jepang membentuk pusat tenaga rakyat (Putera) yang bertujuan agar bangsa Indonesia loyal kepada Jepang. Menjelang kemerdekaan, beberapa tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimejo, Prof. Kahar Mudzakir terlibat dalam panitia persiapan kemerdekaan Indonesia dan perumusan UUD 45.

Pasca-kemerdekaan, pada 7 november 1945 di Yogya sebuah partai politik bernma Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau akrab disebut Masyumi mendapat dukungan dari semua organisasi Islam yang muncul dari MIAI. Pendukung terbesar adalah NU dan Muhammadiyah yang bertujuan guna menegakkan kedaulatan negara dan agama Islam serta melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan. Selama itu, persyarikatan Muhammadiyah yang memang sejak awal berdirinya bukan merupakan organisasi politik, menjadi bagian penting dari Masyumi sebagai anggota istimewa.

Pada zaman orde lama, ketika muncul organisasi fungsional dengan terbentuknya Sekber Golkar 1964, Muhammadiyah ikut pula berbaur di dalamnya. Awal orde baru 1968, Muhammadiyah mendukung partai Parmusi dan sempat dipimpin oleh Pak Lukman Harun (Tokoh Muhammadiyah). Pada era reformasi, Muhammadiyah terlibat dalam kelahiran PAN melalui sidang tanwir di semarang 1998 dan ketika pemilu kemarin, PMB muncul yang didirikan oleh orang-orang Muhammadiyah juga atas reaksi dari klaim bahwa PAN bergerak sudah tidak sesuai dengan ajaran Muhammadiyah.

Untuk saat ini, terlalu naif bila warga Muhammadiyah memandang kancah politik sebagai aspek yang bukan proiritas dari misi ke-Muhammadiyah-an. Bagaimanapun juga, melek politik menjadikan Muhammadiyah terus berjuang sebagai organisasi sosial keagamaan dalam kehidupan bernegara.

IMM, khususnya IMM ciputat yang menjadi salah satu basis pengkaderan dari aktivis Muhammadiyah tidak serta merta terus melakukan gerakan monoton yang antipati terhadap sektor politik, justru basis kompetensi intelektualitas bukan sekedar dalam tataran akademis namun juga harus dalam tataran praktis dengan cara mengarah pada humanitas. Dengan demikian apa yang menjadi sifat Muhammadiyah ada dalam ruh gerakan IMM yang religius, tetap berdakwah di masyarakat sekitar khususnya di masyarakat kampus (civitas akademika). Selain itu, Pak Din Syamsudin dalam diskusi antar ortom Muhammadiyah juga menambahkan IMM harus bergerak dalam amar ma’ruf nahi mungkar di kampus.

Partai progresif adalah representasi media dakwah dari aktivis IMM ciputat, begitu juga Partai Parmasi sebagai representasi dari IMM UAD Yogyakarta dan Partai dari IMM-IMM lain di seantero Nusantara ini bergerak di lini perpolitikan kampus. Akan tetapi, semua partai-partai pemilu kampus tersebut bernasib sama seperti halnya yang terjadi di Ciputat. Kader IMM tidak begitu antusias berkiprah di sektor ini.

Mulai saat ini perlu bagi kader IMM untuk sadar politik. Prof. Dr. Din Syamsudin, MA. sendiri memulai dengan mendirikan partai merah di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Atas dasar cita-cita untuk memperjuangkan aspirasi politik mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dalam hal ini, aspirasi yang dimaksud adalah aspirasi adik-adik kandung ideologis Pak Din (kader-kader IMM).

Hal yang harus dipahami adalah Muhammadiyah dalam perjalanan sejarah mengajarkan pola kehidupan berbangsa dan bernegara, diantaranya dakwah melalui jalur politik praktis meski secara “konstitusi organisasi” tidak disebutkan. Begitu juga dengan IMM, mahasiswa yang mendasari diri dengan doktrin Trinitas (Tri Kompetensi Dasar) Ke-IMM-an tidak bisa menafikan jalur politik sebagai media dakwah ajaran Muhammadiyah dalam kampus. Sehingga sektor politik bukan menjadi hal yang tabu lagi bagi kader IMM.

*Komisariat FISIP IMM Ciputat. Anggota Forum Kajian GPPI (Gerakan Pemuda Patriot Indonesia) dan salah seorang pendiri Forum Kajian OMBAK (Obrolan Mahasiswa Gelisah Intelektual).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar