Kamis, 22 April 2010

RECOVERY OUR INDONESIA

RECOVERY OUR INDONESIA

Oleh: Cecep Suyudi M

Persoalan paling fundamental bagi bangsa yang baru merdeka adalah masalah penemuan jati diri. Amerika serikat misalnya, ketika baru saja merdeka dari Inggris menyebut tahun-tahun awal kemerdekaannya dengan “Abad penemuan jati diri”(The Age of Discovery) (Kompas, 15/8).

Begitu juga apa yang terjadi di Indonesia. Pada awal-awal tahun kemerdekaannya, founding fathers kita menyibukkan diri dengan persoalan penemuan jati diri. Pertarungan ideologi – terutama – antara kubu Islamis (Natsir cs) dan kubu Nasionalis (Soekarno cs) adalah gambaran paling nyata menyangkut pergulatan pencarian jati diri ini. Untuk berdirinya sebuah bangsa yang bernama Indonesia, mereka berusaha meletakkan terlebih dahulu satu pandangan hidup (weltanschauung) hal mana disebut Soekarno sebagai philosophische grondslag.

Nasionalisme dan Pancasila

Syarat sebuah bangsa menurut Ernest Renan adalah “le desir d’etre”, yaitu kehendak untuk bersatu. Menurut syarat ini, definisi sebuah bangsa adalah satu kelompok manusia yang mau bersatu dan merasa dirinya bersatu. Otto Bauer dalam bukunya “Die Nationalitatenfrage”, menyebutkan, Eine Nation ist eine aus schiksalsgemeinschaft (bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).

Definisi bangsa yang dikemukakan oleh Renan dan Otto Bauer ini agaknya selaras, ibarat gayung bersambut dengan realitas keindonesiaan. Indonesia adalah proyeksi dari kemauan sekelompok orang untuk bersatu. Adalah penjajah yang membuat orang-orang di dalamnya merasa senasib dan sepenanggungan yang pada gilirannya membuat mereka berasatu padu untuk mengusirnya dengan membuat border perjuangan dengan nama Indonesia. Penjajah menjadi common enemy dan menjadi semacam rahim besar yang melahirkan sebuah bangsa yang disebut Indonesia.

Soekarno agaknya sangat memahami situasi ini. Tapi untuk definisi bangsa, ia menambahkan satu hal. Definisi Renan dan Bauer menurutnya sudah verouderd, sudah lapuk. Ia manambahkan geopolitik sebagai salah satu syarat sebuah bangsa. Bangsa, disamping menyangkut tentang perangai manusia, juga termasuk bumi yang mereka diami atau yang kita sebut dengan tanah air.

Menurutnya, bumi ini sudah dikapling-kapling sedemikian rupa oleh Tuhan. Jika kita melihat ke dalam peta dunia, maka kita dapat melihat dengan jelas bahwa kepulauan Indonesia adalah satu kesatuan. Realitas ini menjunjukkan bahwa mengikat pulau-pulau itu ke dalam satu ikatan persaudaraan menjadi satu keniscayaan.

Kenyataan bahwa Indonesia sangat plural dengan aneka ragam agama dan budayanya juga dibaca dengan baik oleh Soekarno. Itulah alasan mengapa ia bersikukuh mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Dan Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan yang tepat bagi bangsa Indonesia. Inilah pandangan hidup dan jati diri bangsa Indonesia.

Hilangnya Jati Diri

Secara de facto maupun de jure, bangsa Indonesia memang masih tetap eksis. Jika kita melihat ke dalam peta dunia, di situ terlihat dengan jelas titik pembatas antara Indonesia dengan negara lain atas apa yang disebut dengan geopolitik. Sampai saat ini bentuk negara kita juga tak berubah, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kita masih satu atap di bawah naungan Sang Saka Merah Putih, di atas Pancasila, dan di atas semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Burung garuda adalah lambang negara kita. Bahasa Indonesia juga masih diberlakukan sebagai komunikasi antara suku yang berbeda. Lagu kebangsaan kita masih tetap Indonesia Raya, cipt. WR Supratman. Kita punya pemerintahan, punya rakyat, dan punya konstitusi.

Namun apa yang baru saja kita list baru sebatas identitas fisik. Hal-hal formal yang terkait dengan atribut sebuah bangsa. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah semua itu berjalan dan dihayati berikut ruh dan jiwanya?

Jika kita melihat realitas bangsa kita belakangan, maka kita akan segera dapat menyatakan bahwa bangsa kita hari ini sedang kehilangan jati diri. Semangat nasionalisme yang digagas oleh founding father negeri ini dengan taruhan darah dan tetesan keringat mulai luntur dari sanubari bangsa kita. Pancasila menjadi perdebatan baru yang eksistensinya kembali dipertanyakan.

Semangat primordial kembali menguat dan menunjukkan taring keegoannya. Perasaan senasib sepenanggungan yang dulu pernah membara, kini hilang ditelan keserakahan. Yang ada adalah jurang pemisah yang begitu curam antara si kaya dan si miskin.

Kesejahteraan yang dulu dicita-citakan ternyata hanya dimonopoli oleh orang-orang tertentu. Bangsa ini juga terjangkiti sindrom inferior. Disebut warga negara Indonesia seolah-olah kejatuhan stigma negatif. Sebuah negeri yang terkenal dengan kemiskinan dan TKI-nya. Kita juga lebih bangga mengenakan produk luar negeri daripada produk negeri sendiri.

Berhimpun Dalam Kebhinekaan

“Kami menyadari sepenuhnya akan panggilan dan makna kami sebagai kaum muda adalah salah satu faktor penggerak untuk sesuatu yang lebih berarti bagi tercapainya cita-cita bangsa Indonesia, menuju jenjang yang lebih tinggi dan luhur, demi tercapainya masa depan yang lebih baik”.

Kalimat tersebut merupakan salah satu paragrap yang tertuang pada naskah deklarasi pemuda 23 Juli 1973. Sebuah kesadaran dan kegundahan yang begitu kuat terasa bagi para pemuda akan peran dan eksistensi pemuda untuk masa depan bangsanya, bentuk kesadaran yang kemudian membuka sekat-sekat perbedaan, ego kelompok, kepentingan invidual dan golongan sehingga tercapai harmonisasi langkah pemuda dalam mengisi ruang-ruang kemerdekaan sekali lagi menuju cita-cita bangsa Indonesia, menuju jenjang yang lebih tinggi dan luhur, demi tercapainya masa depan yang lebih baik demi tercapainya masyarakat yang sejahtera.

Maka dari itu, posisi IMM sebagai bagian dari gerakan kaum muda di atas perlu menjadi perhatian yang serius oleh para kadernya. Elitisme IMM yang akhir-akhir ini lebih banyak muncul dalam ruang pemikiran dan kekuasaan, penting untuk dibahasakan pada level rakyat (domain public). Sebab kehadiran IMM bukanlah untuk kepentingan elit, melainkan untuk kepentingan rakyat itu sendiri. Dalam banyak dokumen, seperti piagam pernyataan deklarasi, ditemukan bahwa IMM adalah gerakan kemahasiswaan Islam yang menempatkan diri pada garda gerakan moral-intelektual yang berbasis kerakyatan (Populer Intellectual).

Berangkat dari sinilah, elitisme-intelektual dan gerakan IMM perlu diruntuhkan untuk menempatkan pada jati diri yang sebenarnya, yaitu gerakan intelektual yang mengayom pada kepentingan rakyat. Catatan ini menujukkan dengan tegas, bahwa IMM merupakan kaum inetelektual yang menjadikan kepentingan-kepentingan publik dan permasalahan ketidakadilan sosial politik sebagai komitmen gerakannya. Permasalahan ketidak adilan sosial politik yang semakin akut berdampak pada terhambatnya pembangunan demi tercapainya kesejahteraan rakyat.

Maka dalam rangka mengembalikan IMM pada jalan yang istiqomah demi tercapainya cita-cita ikatan dengan gerakan-gerakan kerakyatannya, maka perlu adanya tafsir baru terhadap ideologi dan paradigma gerakannya. Semoga muktamar IMM yang ke-14 ini mampu merumuskan pola-pola dasar untuk mengelola dan mengembangkan modal sosial (Social Capital) internal maupun rakyat negeri ini dengan melakukan pemberdayaan secara intensif dalam lingkungan yang nyata serta mampu kembali memberikan arti bagi kehidupan kita berbangsa yang lebih baik. Selamat MUKTAMAR..Jaya lah IMM, Abadi perjuangan Kami!!!

*Penulis adalah Ketua Umum PC IMM Ciputat periode 2007-2008 dan Ketua Bidang I DPD IMM DKI Jakarta periode 2009-2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar