Kamis, 22 April 2010

SEBUAH PENGANTAR BAGI BINGKAI INTELEKTUAL YANG BERSERAKAN

SEBUAH PENGANTAR BAGI BINGKAI INTELEKTUAL YANG BERSERAKAN

Oleh: Muhib Rosyidi*

Preface

Sejatinya pertautan antara akal dan realitaslah yang menjadikan peradaban manusia tetap ada dan berkembag. Tidak hanya realitas cogito er gosum Descartes yang menjadi patokan sebagai Bapak filsafat moder, namun namun adalah bagaimana sebenarnya entitas akal itu diraih. Karena kemudian yang menjadikan perdebatan adalah apakah wahyu, intuisi dan ilham bisa dimasukkan sebagai entitas akal murni terhadap ilmu pengetahuan. Inilah yang telah dijawab dan selalu dikembangkan oleh para cendikiawan muslim hingga hari ini. Inilah yang seharusnya menjadi prioritas dalam bingkai pemikiran dan arah gerakan di Ikatan ini. Hal ini menjadi penting terlebih karena memang yang menjadi reason de etre dari terbentuknya IMM adalah membentuk akademisi Islam (Islamic Scholars) yang ternyata sampai saat ini tak banyak yang menyinggung apa dan bagaimana sebenarnya karakter dari akademisi Islam yang dimaksud. Islamic scholars atau akademisi Islam hendaklah kemudian menjadi kata kunci terhadap transformasi pemikiran dan gerakan dalam tubuh IMM sendiri.

Terlebih memang tak banyak yang kemudian menjadi bacaan yang menarik bagi gerakan ini yang terarah pada perwujudan dari idealisme akademisi Islam itu sendiri. Bukan berarti selama ini tidak pernah digulirkan kepada mereka yang aktif menjalankan roda organisasi ini, namun agaknya tak banyak dan tak terlihat mampu menjadikannya sebagai blue print terhadap bingkai regenerasi dalam pemikiran pada anggotanya. Hal ini kemudian menadi kegelisahan tersendiri bagi mereka yang tak banyak menemukan ideologi sesungguhnya dari IMM ini sebagai gerakan akademisi Islam yang sesungguhnya bisa mampu lebih dari sekedar Intellectual Organic ala Gramcy .

Lebih dari itu, perlu kemudian mencarikan format alternative terhadap pergerakan ini agar mampu lebih progress terhadap zaman, dan tentunya menjadi bagian dari IMM adalah bukan sebuah pilihan dari kecelakaan, maupun sekedar numpang lewat tetapi menjadi bagian dari IMM adalah sebuah pilihan rasional. Yang kemudian perlu ditunjukkan bagaimana dan apa saja yang mengaharuskan IMM menjadi sebuah pilihan rasional terhadap gerakan kaum muda.

Metamorfosa itu

Adalah gagasan yang menarik apa yang sampaikan oleh IMM Ciputat dalam bentuk metamorfosa dari tri kompetensi IMM baru-baru ini. Sebuah meamorfosa dari kepompong tri kompoetensi yang ternyata tak banyak menjadikan organisasi itu terarah pada ideology yang masih mengambang itu. Disini kemudian Ciputat menganggap perlu untuk me-reaktualisasikannya kembali dalam bentuk metamorfosa guna menjadi kupu-kupu yang sempurna dari proses metamorfosa tersebut. Namun tentu masih menjadi pertimbangan panjang terhadap proses rekayasa masa depan.

Metamorfosa itu adalah pertama, social justice yang mengarah pada arah nilai universal dalam islam yakni al-‘adalah (keadilan) dan tasamuh (toleransi, kesetaraan). Kedua, Enlightenment sebuah bentuk rekayasa inteletual sebagai nilai akademisi yang mengarah pada integralisme dan konvergensi terhadap ilmu pengetahuan yang dianggap kemudian kebagai bentuk kecerdasan intelektual. Ketiga, adalah tajdid at-Turats yang memiliki agenda pada tarnsformasi Islam dengan dua landasan utama yakni purifikasi (ruju’ ila qur’an wa sunnah) dan dinamisasi (tajdid ad-din) terhadap teks keagamaan itu sendiri.

Hal diatas, memang perlu diterjemahkan lebih komprehensif dan faktual yang kemudian agaknya diharapkan menjadi arah pergerakan yang lebih actual dan otentik. Yakni bagaimana kemudian sebuah idealism terwujud kedalam aplikasi logis terhadap permasalahan yang ada.

Mengagagas Format Intelektual

Pertanyaan pertama yang kemudian muncul adalah kenapa harus intelektual yang menjadi frame terpenting dalam gerakan ini. Bahkan dalam suatu kesempatan Syafii Maarif pernah menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah harus menjadi gerakan keilmuan, yang kemudia IMM harus mengaplikasikannya menjadi second university bagi para mahasiswa. Kemajuan zaman adalah jawaban yang paling jelas dalam pertanyaan ini dan respon terhadapnya adalah sebuah kewajiban. Maka tindakan rasional sangat tidak mungkin terlaksana tanpa pemahaman intelektual an sich. Maka sangat ironis jika dunia telah memperbincangkan tentang demokrasi, civil society, human right, social justice dan sebagainya namun masih ada mahasiswa yang masih terkotak dalam budaya primordial dan mengutamakan emosi dan otot sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan.

Dalam wacana konsolidasi demokrasi misalnya, demonstrasi saat ini dianggap penting sebagai media penyampaian pendapat, namun disisi lain lebih sering hanya berujung anarki dan bentuk penekanan. Padahal demontrasi adalah bagian kecil dari proses konsolidasi demokrasi, yang kemudian lebih penting adalah bentuk lobi dan negosiasi yang memang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni. Disini kemudian IMM harus memilih bagian dari model konsolidasi demokrasi tersebut. Dimana maksud dari negosiasi demokrasi adalah bentuk perlawanan dialektis yang jauh dari bentuk anarki.

Yang disisi lain format intelektual lebih sering difahami mahasiswa hanya berkisar pada teks kampus dan jauh dari realitas diluar. Bisa jadi hanya pada nilai IPK, ataupun bentuk formal dalam bentuk ijazah yang kemudian Perguruan Tinggi tidak lebih sebuah PT (Persero Terbatas) yang mencetak prosuk berlebel maupun mesin yang siap dipekerjakan pabrik-pabrik dan sebagainya yang jauh dari sisi kemerdekaan manusia. Sehingga intelektual haruslah memiliki format yang jelas dan mampu menjadikan manusia lebih manusiawi.

Inilah yang kemudian sebenarnya telah lama digulirkan oleh para sarjana muslim klasik (classical Muslim Scholars) hingga yang modern dalam bentuk integralisme dan konvergensi ilmu pengetahuan. Dimana integrasi disini adalah bentuk pemahaman tentang ilmu pengetahuan isu sendiri sebelum terkotak balam berbagai bidangnya dalam bentuk ilmu yang aplikatif sebagai pemecah terhadap realitas permaslah yang dihadapi. Jika seseorang yang bergelut dalam bidang kedokteran, sains atau ilmuan apapun tidak serta merta menghilangkan diri dalam realitas sosial yang dihadapi. Yang kemudian dengan pemahaman integarsi ini mampiu memberi berbagai aternatif terhadap permasalahan sosial seperti kemiskinan, bukan berarti ilmu kedokteran, teknologi, bahkan agama sekalipun sama sekali tidak terkait dengan hal ini. Namun semua harusbersinergi dan ikut memberi solusi terhadap permasalahan tersebut. Yang dengan demikian ilmu pengetahuan akan kembali pada ranah yang sebenarnya yakni menjadikan manusia yang manusiawi, memiliki jiwa sosial, dan peka terhadap ketidakbenaran.

Sedangkan konvergensi yang dimaksud adalah menghilangkan dikotomi antara ilmu agama dan non-agama. Selain sebagai bentuk kata Islam dalam catatan tujuan dari gerakan IMM itu sendiri, bahwa hal inilah yang dirasa oleh banyak cendekiawan muslim di dunia sebagai awal mula kemunduran Islam dalam pradaban dunia. Yang kemudian memunculkan berbagai teori tentang penyatuan antara ilmu agama dan non-agama, seperti Naquib Alatas yang mencoba memaparkan adanya upaya islamisasi ilmu pengetahuan, atau Hamid Zarkasi yang kemudian mengenalkan Islamic Word View sebagai bingkai ilmu pengetahuan, atau bahkan model Amin Abdullah dan Mulyadi Kertanegara yang mengungkap pembagian ilmu pengetahuan dari awal fitrah manusia yakni tauhid. Dimana sebenarnya umat Islam merindukan adanya ilmuan ensiklopedi yang mampu mengkombinasikan antara ilmu agama dan umum seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusd, al-Khawarizmi dan sebagainya yang kesemuanya tidak hanya dianggap mampu dalam bidang agama namun juga teknologi dan berbagai ilmu terapan.

Dua hal ditas menjadi sangat penting karena kemudian manusia ternyata mengalami titik balik peradaban yang sangat jauh. Jauh, karena memang seolah peradaban manusia saat ini seperti tidak mungkin dibayangkan oleh zaman peradaban sebelumnya, sebutlah sebelum masehi selain itu ternyata manusia modern tidak bisa menjawab tantangan peradaban lama bahwa seperti Piramid, Borobudur tetaplah tidak sebanding dengan peradaban perhotelan dan gedung mewah dari sisi artistic, penggunaan media hingga mistic. Mungkin pembaca akan bertanya kenapa mistic, karena ternyata peradaban manusia tidak pernah terlepas dari pengaruh adanya sesuatu yang entitas absolute ditengah manusia (baca Tuhan). Yang dengan demikian Agama tidak bisa terlepas dari tanggung jawab peradaban, begitu juga bahwa peradaban manusia untuk lebih manusiawi tidak bisa dilepaskan dari perkenalan para agamawan dengan ilmuan dalam suatu personal yang tidak terpisah. Sehingga bukan seperti Newton yang gagal (menurut penulis) dalam menerjemahkan keagamannya dalam karya Celestial Mechanics yang kemudian ditanya oleh Napoleon kenapa tidak ada kata Tuhan dalam karya itu, kemudian ia hanya menjawab “I don’t need that kind of hypothesis”.

Membingkai yang berserakan

Dengan demikian memang intelektual adalah pilihan rasional dari gerakan ini, bukan yang lain. Memang pada awalnya IMM dibentuk untuk meramaikan agenda dakwan dalam kampus-kampus di negeri ini, namun dengan perkembangan zaman kata ‘dakwah’ menjadi momok agama yang seolah tidak terkait dengan realitas dan kreatifitas kemanusiaan. Pendapat ini tentu boleh dibantah oleh mereka yang tidak berfikir demikian, namun yang menjadi esensi adalah wujud dari sikap kritis dan terhadap setiap realitas sosial itu. Yang disinilah muncul dari arah akademisi Islam yang dicita-citakan.

Inila yang menunjukan bahwa intelektual pun harus terarah dan menjadi penting dalam proses rekayasa masa depan peradaban manusia. Karena memang benar apa yang di ungkap oleh Ahmad Dahlan bahwa suatu saat nanti kita akan menjadi dokter, insinyur, hakim dan sebagainya namun harus kembali ke Muhammadiyah. Yang memiliki tafsiran bahwa nilai universal islam harus tetap menjadi bingkai dalam proses pembetukan Akademisi Islam yang menjadi cita-cita mulia itu.

Saat ini bentuk integrasi dan konvergensi ilmu pengetahuan mulai memunculkan dirinya. Tinggal bagaimana kemudian apakah gerakan IMM menjadi bagian yang ikut serta menjadi catatan sejarah intelektual ataukah hanya menjadi sampah sejarah yang setiap generasi akan dilupakan oleh generasi selanjutnya. Walaupun demikian ini adalah hanya salah satu pilar dari perwujudan akademisi Islam sesunggugnya dari tiga pilar yang menjadi momok penting kompetensi Ikatan ini yakni Social justice, Enlinghtenment dan tajdid at-Turats.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar