Kamis, 22 April 2010

Dilema Kaderisasi IMM

Dilema Kaderisasi IMM

Oleh: Widian Vebriyanto*

Kaderisasi dalam keorganisasian pada hakekatnya adalah totalitas upaya pembelajaran dan pemberdayaan yang dilakukan secara sistematis, terpadu, terukur, dan berkelanjutan dalam rangka melakukan pembinaan dan pengembangan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik setiap individu. Kaderisasi yang dilakukan oleh setiap organisasi bertujuan untuk mencetak “manusia - manusia unggul” yang memiliki loyalitas dan komitmen terhadap organisasi, memiliki jati diri dan cita- cita kemajuan. Biasanya kaderisasi dilakukan dalam banyak tahapan mulai dari jenjang kepemimpinan yang terendah hingga jenjang kepemimpinan yang tertinggi.

Begitu juga Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), sebagai organisasi otonom Muhammadiyah lingkup mahasiswa, yang juga selalu melakukan pengkaderan tiap tahunnya. Pengkaderan dalam IMM antara lain Masta (masa ta’aruf) dan DAD (Darul Arqom Dasar). Masta lebih menekakan pada proses pengenalan organisasi dan rasa memiliki terhadap organisasi. Sedangkan DAD lebih menekankan pada upaya bagaimana menjadi kader IMM yang sesungguhnya. Setiap kader yang akan melaksanakan DAD harus telah menjadi seorang mastawan/ mastawati terlebih dahulu. Metode pengkaderan yang sangat bagus, jika dilihat dari cara bagaimana mengenalkan kader mengenai organisasi yang kemudian dilanjutkan dengan totalitas pengkaderan.

Namun muncul permasalahan yang terjadi dalam tubuh kader IMM sendiri. Misalnya, seorang kader yang tidak bangga dengan organisasinya, tidak mempunyai rasa untuk membangun, tidak Memiliki Komitmen atau tidak ada loyalitas (hanya iseng ber- IMM), dan terutama masih mengedepankan ego pribadi daripada kepentingan organisasi. Apakah layak mereka disebut kader IMM ?, adalah pertanyaan yang harus kita jawab bersama sebagai bagian dari IMM. Dan melalui tulisan yang singkat ini, penulis mencoba untuk menganalisa dan menelaah masalah- masalah yang dihadapi IMM dalam pengkaderannya.

Masta : Zero branding

Ironis mungkin jika kita membandingkan jumlah peserta Masta IMM dengan “Masta- masta ” yang dilakukan oleh organisasi lain, sebut saja Mapaba oleh PMII dan LK oleh HMI. Masta IMM biasanya hanya memiliki jumlah peserta tiga puluh orang dari bebarapa Pimpinan Komisariat, sedangkan untuk Mapaba dan LK memiliki jumlah peserta lima puluhan orang, hanya dari satu Pimpinan Komisariat saja. Kemungkinan terbesar yang melatarbelakangi kekontrasan jumlah peserta tersebut adalah sosialisasi yang kurang dan tidak tepat sasaran. Sosialisasi yang dilakukan oleh para panitia Masta biasanya sembunyi- sembunyi, atau lebih tepatnya panitia Masta tidak memiliki rasa ke-IMM-an yang tinggi, sehingga muncul rasa malu (karena IMM saat ini terbilang sebagai organisasi yang kecil) dalam dirinya untuk mensosialisasikan IMM. Pertanyaannya kemudian, bagaimana IMM bisa jaya jika kadernya saja malu untuk mengakui bahwa dia adalah seorang IMM?.

Jika ditinjau dari segi pelaksanaannya, Masta terbilang sangat baik, karena materi yang diberikan tidak terlalu berat tapi sangat berisi. Melalui pendekatan persuasif yang diberikan oleh pemateri, peserta dapat merasa yakin bahwa mereka tidak salah memilih IMM. Begitu juga game- game kecil yang dapat meningkatkan keakraban antara peserta dengan peserta, juga peserta dengan panitia masta (dalam hal ini kader IMM).

Permasalahan Masta sebenarnya terletak pasca Masta, yaitu disaat para mastawan/i tak sabar ingin merasakan kegiatan- kegiatan apa saja yang akan dilakukan IMM, dalam hal ini kegiatan Pimpinan Komisariat, disisi lain Pimpinan Komisariat vakum. Tentu saja ini secara tidak langsung dapat membuat keyakinan para mastawan/i terhadap IMM memudar. Anggapan bahwa IMM tidak bermanfaat bagi mastawan/i kemungkinan akan muncul jika situasinya seperti itu, dan sebagai konsekuensinya, Pimpinan Komisariat harus ikhlas jika mastawan/i ini keluar dari IMM.

Paradigma yang kemudian muncul adalah “ikut masta tapi belum tentu ikut DAD”. Jika situasi seperti ini, bukan tidak mungkin mastawan/tidak tertarik lagi untuk mengikuti jenjang yang berikutnya, yaitu DAD. Pikiran mereka akan terkonstruk bahwa IMM kurang perhatian terhadap dirinya, sehingga mereka tak perlu ikut pengkaderan jenjang berikutnya, atau bahkan mereka memutuskan untuk mencari organisasi lain yang menurut mereka lebih baik

DAD dan Rutinitas Semu

DAD adalah proses IMM dalam mencetak manusia- manusia unggul yang sesungguhnya. Tujuan DAD secara umum adalah untuk mencetak aktivis- aktivis IMM yang memiliki loyalitas, jatidiri (identitas), dan kemajuan dalam konteks kolektivitas kebersamaan dalam organisasi. Inilah saat dimana kader IMM diberi pengetahuan, pedoman, dan tujuan IMM.

Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam DAD selalu diwacanakan mengenai tri kompetensi IMM yang merupakan suatu trilogi yang harus ada dalam diri kader. Tri kompetensi ini meliputi, humanitas, intelektualitas dan religiusitas. Inti dari Trilogi ini adalah tuntutan untuk menjadi kader yang memiliki intelektualtas dalam segala bidang, berpedoman kepada Al Qur’an dan As Sunah, serta memiliki kepekaan sosial yang tinggi dalam bermasyarakat.

Dilema yang terjadi dalam DAD adalah kader – kader baru, hanya sekedar menghafalkan trikompetensi IMM dan setelah DAD berakhir, berakhir pulalah hafalan tersebut. Inilah pokok masalah yang harus dibenahi, yaitu bahwa trikompetensi IMM bukan untuk dihafal, tapi untuk diaplikasikan ke dunia nyata. Seharusnya setelah DAD atau pasca DAD, kader sudah mampu untuk mengaktualisasikan trikompetensi IMM, mampu berkreasi, dan siap untuk memajukan IMM. Bukan malah sebaliknya, yang masih bingung ingin berbuat apa untuk IMM, tak berkreasi, tak punya imajinasi membangun, dan yang paling fatal adalah menjadi “aktivis - aktivis benalu” dalam tubuh IMM. Fakta dari fenomena ini tampaknya tidak perlu untuk diperdebatkan lagi kebenarannya. Jika hal ini masi terjadi bukan rahasia lagi bahwasannya DAD hanyalah rutinitas belaka, hanya untuk memenuhi tuntutan tiap tahunnya, tanpa ada kader IMM sejati yang tercipta.

Revitalisasi Tri-Kopetensi IMM

Proses kaderisasi sesungguhnya dibagi menjadi dua bagian yaitu saat kaderisasi dan pasca kaderisasi. Saat kaderisasi adalah saat dimana proses doktrinasi berlangsung, proses doktrinisasi ini berupaya untuk membekali diri seorang kader dengan tujuan dasar organisasinya. Tidak hanya itu, proses ini berusaha dengan serius meyakinkan sang kader bahwa ia tak salah memilih organisasi. Metode yang digunakan dalam proses ini adalah materi dan diskusi mengenai keorganisasian (baca: IMM).

Sedangkan pasca kaderisasi adalah proses dimana senior ( kader lama ) memberikan arahan – arahan, masukan- masukan, dan semangat bagi kader baru. Artinya kader yang baru saja ikut DAD harus secara intensif dan kontinyu di berikan follow up, tapi bukan berarti “mendikte” kader baru, melainkan berusaha untuk mengembangkan kreasi dan imajinasi kader baru. Metode yang digunakan adalah dengan cara menjaga harmonisasi dan membantu mencarikan solusi – solusi pemecahan masalah bagi kader baru. sehingga yang tercipta kemudian adalah keyakinan sang kader bahwa ia tak salah memilih IMM.

Jika dilihat dari gambaran umum, maka seharusnya kaderisasi IMM diharapkan bukan hanya sekedar sarana mewujudkan manusia – manusia normatif – teoritik, tetapi lebih dari itu mampu mengaktualisasikan trikompetensi IMM secara praksis dan aplikatif. Jika kita lihat secara khusus, maka kaderisasi IMM akan terorientasikan sebagai berikut, pertama adalah peningkatan kualitas wawasan, yaitu sikap mental sebagai kader IMM dan warga Muhammadiyah sebagai manusia, warga masyarakat, warga bangsa, dan warga negara masyarakat global (kosmopolitan).

Kedua adalah pemantapan keberadaan dan partisipasi IMM dalam menunaikan tugas, kewajiban, dan tanggung jawabnya dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Ketiga, peneguhan pemahaman, pengetahuan, dan ketrampilan kader IMM dalam menjalankan organisasi untuk diabdikan bagi kemajuan masyarakat. Keempat, terwujudnya kader – kader IMM yang “unggul”, tercerahkan, kreatif, inovatif, dan memiliki kepribadian yang berderajat tinggi, serta tetap berpegang teguh pada trikompetensi IMM.

Demikianlah telaah kritis yang mungkin sedikit mengusik rasa keberorganisasian yang kemudian diharapkan menjadi spirit baru dalam bergerak menuju cita-cita mulia dari ikatan ini. wallu a’lam.

* PK Ekonomi dan Ilmu Sosial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar