Rabu, 31 Maret 2010

Geliat Ikatan 1

KONTEKSTUALISASI KEMANUSIAAN BERBASIS KOMPETENSI IKATAN

Secara an sich, Islam lahir dan diterima bukan karena ritual ibadah namun karena dua nilai universal yang dibawanya berupa humanity dan monotheistic-nya yang dalam implementasinya kemudian di terjemahkan dalam bentuk tauhid dan rahmantan lil ‘alamin. Terkecuali dari sini kemudian ia menjadi agama yang muncul dengan kejumudan dalam pemikiran karena adanya arogansi religiusitas sebagian besar umatnya. Ia tak lagi bisa diterima oleh banyak kalangan luar bahkan sering diasingkan oleh pemeluknya sendiri. Kemanusiaan dan ketauhidan sebagai reason de etre dari agama ini lantas tersingkir begitu mencuat sakralitas terhadap bentuk ibadah. Hal ini sangat mudah disimpulkan bukan karena kebekuan Islam saat ini namun sejak awal para intelektual islam seperti ahli hadis sendiri banyak yang terjerumus kepada bentuk sakralitas terhadap ibadah satu contoh yang paling mendasar adalah tidak adanya Piagam Madinah dalam kumpulan hadis mereka sebagai bentuk universalitas kemanusiaan. Penting memang untuk bertanya kembali, namun justru lebih penting untuk menjawabnya sendiri saat ini.

IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) yang lantas bergerak dengan berbagai bentuk deklarasi seperti deklarasi Solo (1965), Deklarasi Garut (1967), Deklarasi Baiturrahman (1975) hingga bentuk Manifesto Kader Progressif (2002) dan Manifesto Politik (2004) ternyata seolah tak membumi dalam masyarakat bahkan Muhammadiyah sebagai Induk organisasinya. Dalam perjalan awal organisasi ini memang ditujukan sebagai bagian dari jalan dakwah Muhammadiyah. Namun kosa kata ‘dakwah’ telah menyempit seolah tak lagi menyentuh nilai kebangsaan dan kemanusiaan, -entah siapa yang salah- yang terpenting adalah menggunakan modal yang ada untuk sebuah upaya perbahan dalam tindakan dan bukan pemikiran maupun angan semata. Dan Tri Kompetensi yang telah ada lebih sering hanya menjadi slogan dan jubah kebesaran, yang menimbulkan pertanyaan kenapa jubah itu tidak lantas menjadikan IMM ikut menjadi besar dan mampu menjawab tantangan zaman.

Jika harus dibedah bentuk Tri Kompetensi itu tidak lain merupakan metemorfosa terpisah dari IMM yakni Ikatan menjadi bentuk kemanusiaan atau humanitas , Mahasiswa menjadi kemahasiswaan dalam bentu intelektualitas dan Muhammadiyah sebagai bentuk dakwan menjadi religiusitas. Memang terkesan mudah dibaca tapi bukan itu yang menjadi soal tapi kemana IMM selama ini? Lantas, kemana seharusnya tri kompetensi itu dibawa?

Berangkat dari anggapan dasar diatas, IMM dengan tri Kompetensi dasarnya mencoba berevolusi ulang dengan perubahan peradaban dan melakukan upaya kontekstualisasi ditengan kejumudan pemikiran di tubuh induknya Muhammadiyah. Tajdid yang dibawa oleh generasi awal persyarikatan tersebut telah dinilai sudah tidak up to date dan cenderung meninggalkan masalah baru. Contoh misalnya, panti asuhan yang dulu dianggarkan bagi mereka yang tidak mampu saat ini tidak terawasi sehingga sering menjadi tempat pelemparan orang yang tak mau bukan tak mampu merawat anak-anak mereka dan sama halnya ini terjadi pada panti jompo yang ada. Sejalan dengan hal ini, IMM kembali depertanyakan sebagai kawanan mahasiswa yang -mungkin masih labil- kadang tidak peka terhadap permasalahan yang ada disekitarnya. Seharusnya mahasiswalah mengawal demokrasi, karena memang ialah yang kemudian dianggap sebagai bagian dari civil society yang lantas berwujud Value Politic atau yang diungkapkan Amin Rais sebagai High Politic. Sekali lagi ini bukan soal slogan dan logo semata, tapi harus di pertanyakan kemana dan bagaimana kompetensi ikatan harus berjalan.

Social Justice

Tidak terlalu memaksakan ataupun menjadikannya justru jauh dari realitas. Sejatinya humanitas sebagaimana diungkapan diawal bahwa tidaklah Islam diterima melainkan adanya peningkatan citra kemanusiaan yang dibawa. Buya sendiri pernah mengusulkan untuk merubah filosofi gerakan yang asalnya bahwa warga Muhammadiyah adalah kader persyarikatan, kader agama, dan kader bagsa untuk di balik dan diberi tambahan yakni warga Muhammadiyah adalah kader kemanusiaan, kader agama, kader bangsa, dan kader persyarikatan. Tentu hal ini buka tanpa alasan, karena hal yang paling tinggi nilai dalam diri manusia adalah sisi kemanusiaan itu sendiri dan bukan terkotakkan dalam sebuah organisasi, golongan maupun agama seperti yang di sinyalir olah Allah sendiri bahwa li kulli ja’alna sir’atan wa minhaja yang dari sinilah nanti akan ternbentu nilai untuk ber-fastabiqul khairat dalam setap tindakan umat-Nya.

Keadilan sosial adalah bentu mutlak nilai kamanuisaan. Tentu tanpa membedakan golongan, ras maupun agama. Pengkotakkan manusia seringkali justru berujung pada pudarnya nilai kemanuisaan. Tak ayal jika ada seorang penolong yang baik hati akan dinilai baik pula, namun ketika diketahui ternyata ia berbeda agama atau golongan, secara drastis apresiasi terhadapanya langsung menurun bahkan tak jarang malah menjadi negatif sebagai bentuk buruk sangka atau ada niatan buruk dengan kebaikan seseorang tersebut. Inikah yang disebut sebagai memahami perbedaan? Inipun bukan hal mustahil terjadi pada kader IMM baik wujudnya sebagai objek maupun subjek dari sebuah permasalahan kemanusiaan.

Disekitar ikatan ini ada HMI, PMII, GMNI, dan sebagainya yang menurut penulis pasti memiliki para rausanfikr –meminjam bahasa Ali Syariati- yang menjadi tonggak ideologi maupun pergerakan dalam organisasi mereka. Lantas hubungan antara mereka inilah yang mungkin belum terjalin. Perbedaan adalah realitas yang tak bisa di pungkiri, namun kepekaan satu sama lain itupun harus menjadi sisi lain yang harus diberi ruang dalam setiap pergerakan. Seperti hal yang kemarin terjadi pada HMI misalnya, kadang perlu di pertanyakan kemana kawan-kawan –yang bukan sekedar kawanan- organisasi lain dalam menyikapi hal ini.

Kesetaraan dan penyamaan tersebut juga menjadi dasar bahwa penegakan keadilan adalah kewajiban semua dan penegakan keadilan manusia tidak ada sangkut-pautnya dengan ketuhanan. Hal ini bukan bermaksud menegasikan Tuhan sebagai penguasa tertinggi pada manusia, namun permasalahan antar manusia bukan menunggu keputusan Tuhan tapi bagaimana manusia menyikapi manusia yang lain. Sehingga dengan ini tidak terpangku pada takdir Tuhan, karena Tuhan sendiri tidak perlu diberi rasa keadilan atau dalam bahasa Gus Dur tidak perlu dibela.

Disinilah kemudian letak dari adanya social justice menjadi penting dalam pentas pergerakan ikatan. Bukan hanya mahasiswa yang menjadi kader dari Ikatan ini, namun golongan mahasiswa, masyarakat, maupun agama lain menunggu wujud dari slogan tersebut. Yang tampak untuk diingatkan adalah pidato Abu Bakar dalam waktu pembaiatan dirinya ia mengungkapkan, “Kaum yang kuat diantaramu adalah yang lemah dimataku, dan kaum yang lemah diantaramu adalah yang kuat dimataku”.

Enlightenment

Awalnya adalah istilah dari bentuk pencerahan atau renaissance di Eropa. Istilah ini memang terkesan agak memaksa jika jarus dikaitkan dengan intelektualisme dari metamorfosa mahasiswa sebagai kaum intelektual. Lebih dari itu, mahasiswa sebagai pemegang power control terhadap jalannya demokrasi harus tetap bertahan dalam politik etis yang tidak pragmatis. Demokrasi yang tidak sejalan sebagaimana cita-citanya ternyata seringkali diakhibatkan oleh terbelinya kaum intelektual. Disinilah kemudian dibutuhkan sebuah pembelajaran tentang integritas intelektual.

IMM yang memiliki identitas akademis sebagai ranah mahasiswa menuntutnya untuk bisa memandang suatau permasalahan secara komprehensif, sehingga penyelesaian permasalahan tidak parsial dan justru menambah suatu masalah. Yang selanjutnya dengan intregitas intelektual ini mendorong seseorang untuk tetap kritis dan objektif dala menyikapi masalah yang ada.

Disini tidaklah lagi IMM membicarakan pentingnya intelektual bagi pola pikir mereka, namun secara integral harus melompat pada hal integrasi intelektual. Hal ini harus dimaklumi sebagi lompatan paradigma berfikir mahasiswa sebagai sebuah alasan yang semestinya mahasiswa adalah source of intellectual. Terlepas dari definisinya sendiri, integritas intelektual berkelut pada dua hal penting yakni Intellectual Application dan Intellectual Responsible. Dua hal yang tak mungkin terpisahkan bagai sisi mata uang dalam sikap integritas intelektual.

Selain pembacaan tentang integritas intelelektual dalam konsep pencerahan bagi kaum civil society, pembacaan yang lebih penting adalah tentang pembacaan spirit peradaban. Hal ini memang bukanlah wahyu yang hanya diberikan Tuhan kepada para nabi-Nya. Walau seringkali terjadi dalam bentuk intuitif seperti yang dilakukan Rumi, namun ini bukan hal yang tidak mungkin. Daya intelektual yang tinggi disertai kepekaan terhadap masalah kemanusiaan adalah modal yang harus dimiliki dapam proses pembacaan ini.

Alam sering membantu mereka yang mampu membaca spirit peradaban tersebut. Karena itulah nabi melakukan tahannus atau menyendiri dalam gua. Tindakan tersebut bukan berarti menyuruh umatnya untuk bertapa di gua maupun di pegunungan, namun yang dilakukan nabi adalah bagaimana ia setelah mengetahui berbagai macam kondisi masyarakat Arab saat itu -mulai dari ekonomi, moral dan tentu masalah ketuhanan yang kesemua itu ternyata memiliki masalah dan perlu diselesaikan- kemudian muncul sebuah rasa tanggungjawab. Karena itu, mereka yang memiliki pembacaan spirit peradaban bukanlah mereka yang hanya mengamati berbagai berita di TV tapi mencoba memberikan sebuah tindakan solutif terhadap berbagai berita tersebut. Contoh, adanya berbagai berita korupsi bukan lantas menjadikan diri untuk benci kepada para pelaku korup tersebut, namun bagaimana sikap korup tersebut keluar dari sifat kemanusiaan, inilah yang hanya bisa dijawab mereka yang mampu menjawab spirit zaman dan bukan hanya berkesimpulan bahwa itu memang sifat yang sudah mendarah daging pada manusia Indonesia.

Setelah melakukan pembacaan terhadap spirit peradaban, sebagaimana yang disebut sebelumnya, ingrasi intelektual adalah sebuah keharusan. Integrasi intelektul sering diartikan dengan penyatuan ilmu pengetahuan dalam realitas indrawi dan pengetahuan dalam konsep spiritual atau lebih sering disebut dengan ilmu umum dan ilmu agama. Ini di anggap penting sebagai tantangan Islam dalam dunia modern ketika agama lebih sering menjadi penghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang justru pemeluk agama itulah yang berkewajiban menjawabnya. Naquib Alatas seorang intelektual Islam yang tinggal di Malaysia telah mencoba mencetuskan adanya islamisasi ilmu, walaupun banyak yang berpendapat hanya sekedar mencari pembenaran agama dterhadap ilmu pengetahuan yang ada dan tidak memunculkan sebuah ilmu baru, sertidaknya ia telah berusaha menjadikan islam sebagai frame berfikir dalam keilmuan saat ini yang dalam bahasa Hamid Zarkasi sebagai Islamic World View.

Integrasi ilmu sangat dibutuhkan dalam proses enlightenment di organisasi kemahasiswaan ini. Memang terkesan sangat berar jika harus difahami bahwa seorang mahasiswa yang faham tentang ilmu umum diharuskan pula faham tentang ilmu agam dan juga sebaliknya. Padahal secara historis para sarjana Islam awal banyak yang menjadi ilmuan ensiklopeidi yang mampu menjadi ulama sekaligus dokter bahkan ahli kimia, fisika, astronomi dan sebagainya secara bersamaan. Memang seringkali dalam hal ini kesalahan dilimpahkan kepada terkotaknya ilmu pengetahuan dalam sistem pendidikan di negeri ini. Yang kemudian dalam konteks mahasiswa harus mampu memadukan apa itu pengajian dan apa itu kajian.

Demikianlah kewajiban moral intelektual yang bukan hanya sekedar belajar dibangku kuliah. Pembelajaran bisa dilakukan dimana saja, dan organisasi bisa menjadi perkuliahan kedua dalam permasalah kehidupan yang lebih luas ketimbang ilmu yang didapat di bangku kuliah bersama para dosen. Sebagaimana yang di lontarkan pada deklarasi IMM di Solo tahun 1965 bahwa ilmu adalah amaliyah IMM dan amal adalah ilmiah IMM. Maka agar tidak hanya menjadi slogan harus difahami bahwa amalan IMM haruslah disertai dengan wacana ilmiah dan bukan hanya taqlid buta belaka, sebaliknya keilmuan yang dimiliki menuntuk kewajiban menjadi amal perbuatan dan bukan hanya sekedar wacana dalam pemikiran.

Tajdid Turats

Komponen ketiga dari tri kompetensi yang dimiliki IMM adalah rligiusitas. Ia termetamorfosa dari bentuk Muhammadiyah sebagai ormas Islam yang berjalan di medan dakwah. Disinilah kemudian IMM memberikan ruang bagi dakwah keagamaannya. Agama yang selama ini diyakini benar dan prelu dibenarkan guna menghilangkan keraguan baik pada orang lain maupun diri sendiri. Anak muda, mahaiswa sering kali diidentikkan dengan pencarian kebenaran, ini tidak ada salahnya namun yang lebih penting justru menjalankan kebenaran tersebut.

Di awal sudah dikemukakan bahwa Islam diterima bukan karena praktek ibadahnya, karena tiap kebudayaan mempunyai ritual tentang ketuhanan dan kebudayaan masing-masing. Humanity dan Monotheistic-lah yang menjadi ketertarikan dan pemikiran awal dari penerimaan agama ini. Sikap kritis yang dimiliki para sahabat dan generasi awal adalah semangat yang harus dikembalikan saat ini agar mampu ber-Islam secara otentik dan tidak parsiar. Inilah yang disebut dengan adanya tajdid turats.

Tajdid, sebaca harfiah dimaknai dengan pembaharuan. Tajdid berbeda dengan taghyir yang berarti merubah, karena taghyir akan berujung pada bid’ah dan sedang tajdid adalah bentuk dari kontektualisasi masa lalu yang kemudian diambil hikmah atau apa yang disebut diawal sebagai spirit peradaban untuk dibawa kemasa kini. Sedang turast adalah padanan dari kata atsar yakni peninggalan islam yang kemudian di simpulkan pada al-Quran dan Hadis. Disinilah kemudian muncul gerakan di Muhammadiyah sebagai gerakan Ruju’ Ila Quran Wal Hadis. Dan bukan yang diselewengkan oleh mahasiswa menjadi Ruju’ Ila Koran Wal Hard Disk.

Saai ini telah berkembangberbagai gerakan dan upaya untuk kritis terhadap teks dan konteks. pada hakekatnya disinilah muncul segala perbedaan yang terjadi pada umat Islam. Ada yang menjadi liberal, moderat, konserfatif, fundamentalis dan berbagai macam istilah dan pertanyaan yang muncul pada IMM adalah dimana dia saat ini? Pertanyaan ini tidak akan dijawab disini karena akan berpanjang lebar tentang bagaimana mahasiwa Muhammadiyah berislam, namun lebih kepada spirit untuk membentuk sikap kritis terhadap teks dan konteks yang ada. Islam, dari Teks –baik alquran maupun hadis tidak akan berubah- tidak akan berubah, begitu pula konteks yang tergambar pada sejarah masa lalu.

Namun yang berubah adalah konteks saat ini sebagai perjalanan zaman yang dinamis, inilah yang menjadi persoalan. Sehingga, menurut Din Syamsuddin bahwa tajdid memiliki dua sisi yakni purifikasi dan dinamisasi terhadap teks-teks agama. Purifikasi adalah gerakan untuk kembali kepada alquran dan hadis, sedang dinamisasi adalah wujud perubahan bentuk dengan semangat yang sama terhadap keberagamaan seseorang. Atau dalam bahasa Fazlur Rahman sering dikenal dengan double movement, yakni gerakan ganda dimana pertama, seseorang agamawan menggerakan bacaannya kepada teks-teks agama disetai dengan konteks pada saat munculnya teks tersebut kemudian mengambil hikmahnya dan kemudian sebagai gerakan kedua yakni membawanya dan mengelaborasinya kepada konteks kekinian sebagai bentuk dinamisasi keberagamaan tersebut. Disinilah kemudian diharapkan islam bisa tumbuh secara otentik dan tidak melepas teks dari konteksnya.

Inilah kemudian –menurut penulis- tidak ada teori naskh dan mansukh dalam islam, yang adalah penyesuaian kondisi dengan teks yang ada. Sebagai contoh, sering hadis ziarah kubur sebagai bentuk naskh dan mansukh dalam Islam karena nabi melarang pada awalnya kemudian membolehkannya. Sekali lagi, bukan pada naskh dan mansukhnya yang harus diperhatikan. Akan tetapi pada apa alasan nabi melarang dan membolehkan tindakan tersebut. Yang kemudian hal ini bisa dilakukan keduanya –pelarangan dan pembolehan- pada suatu kondisi dan tempat yang berbeda. Yakni ketika alasan pelarangan itu masih ada pada suatu kaum, maka pelarangan itupun masih berlaku. Inilah yang kemudian dilakukan oleh Muhammadiyah, dimana pada masa awal gambar Ahmad Dahlan dilarang untuk dipasang dikelas-kelas kemudian dibolehkan pada masa selanjutnya hingga kini.

Demikianlah bentuk Islam Rahmatan Lil ‘Alamin yang diinginkan nabi. Yang tidak statis dan keluar dari semangat pembaharuan. Perbedaan adalah hal yang mutlak terjadi, namun bukan berarti dengan perbedaan islam menjadi terpecah akan tetapi dengan perbedaan islam menjadi agama yang penuh khazanah yang Shalih Li Kulli Zaman Wa Makan. Baik imam Syafii maupun yang lain tentu memilki perbedaan, hal ini tentu tidak keluar dari konteks yang mereka bawa. Bisa dari latar belakang kehidupan, kultur tempat ataupun pendidikan. Karena itulah imam syafii mengatakan, “kebenaran yang ada padaku sejatinya dimungkinkan adanya kesalahan, dan kesalahan pada orang lain sejatinya dimungkinkan adanya kebenaran”.

Kemudian, dari wujud dari Tri Kompetensi pada IMM, itulah sebenarnya dasar pergerakan dari ikatan ini. Dan tidaklah salah jika pada pelantikan IMM Cabang Ciputat kemarin mengambil tema Reactualization Basic Competences of IMM; Social Justice, Enlightenment, and Tajdid Turats. Dengan harapan bahwa tri kompetensi itu bisa membumi dan bisa diterapkan oleh seluruh kader ikatan dan berguna bagi kemanuisaan, agama, bangsa, persyarikatan dan tentu ikatan. Wallhu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar