Kamis, 22 April 2010

SEBUAH PENGANTAR BAGI BINGKAI INTELEKTUAL YANG BERSERAKAN

SEBUAH PENGANTAR BAGI BINGKAI INTELEKTUAL YANG BERSERAKAN

Oleh: Muhib Rosyidi*

Preface

Sejatinya pertautan antara akal dan realitaslah yang menjadikan peradaban manusia tetap ada dan berkembag. Tidak hanya realitas cogito er gosum Descartes yang menjadi patokan sebagai Bapak filsafat moder, namun namun adalah bagaimana sebenarnya entitas akal itu diraih. Karena kemudian yang menjadikan perdebatan adalah apakah wahyu, intuisi dan ilham bisa dimasukkan sebagai entitas akal murni terhadap ilmu pengetahuan. Inilah yang telah dijawab dan selalu dikembangkan oleh para cendikiawan muslim hingga hari ini. Inilah yang seharusnya menjadi prioritas dalam bingkai pemikiran dan arah gerakan di Ikatan ini. Hal ini menjadi penting terlebih karena memang yang menjadi reason de etre dari terbentuknya IMM adalah membentuk akademisi Islam (Islamic Scholars) yang ternyata sampai saat ini tak banyak yang menyinggung apa dan bagaimana sebenarnya karakter dari akademisi Islam yang dimaksud. Islamic scholars atau akademisi Islam hendaklah kemudian menjadi kata kunci terhadap transformasi pemikiran dan gerakan dalam tubuh IMM sendiri.

Terlebih memang tak banyak yang kemudian menjadi bacaan yang menarik bagi gerakan ini yang terarah pada perwujudan dari idealisme akademisi Islam itu sendiri. Bukan berarti selama ini tidak pernah digulirkan kepada mereka yang aktif menjalankan roda organisasi ini, namun agaknya tak banyak dan tak terlihat mampu menjadikannya sebagai blue print terhadap bingkai regenerasi dalam pemikiran pada anggotanya. Hal ini kemudian menadi kegelisahan tersendiri bagi mereka yang tak banyak menemukan ideologi sesungguhnya dari IMM ini sebagai gerakan akademisi Islam yang sesungguhnya bisa mampu lebih dari sekedar Intellectual Organic ala Gramcy .

Lebih dari itu, perlu kemudian mencarikan format alternative terhadap pergerakan ini agar mampu lebih progress terhadap zaman, dan tentunya menjadi bagian dari IMM adalah bukan sebuah pilihan dari kecelakaan, maupun sekedar numpang lewat tetapi menjadi bagian dari IMM adalah sebuah pilihan rasional. Yang kemudian perlu ditunjukkan bagaimana dan apa saja yang mengaharuskan IMM menjadi sebuah pilihan rasional terhadap gerakan kaum muda.

Metamorfosa itu

Adalah gagasan yang menarik apa yang sampaikan oleh IMM Ciputat dalam bentuk metamorfosa dari tri kompetensi IMM baru-baru ini. Sebuah meamorfosa dari kepompong tri kompoetensi yang ternyata tak banyak menjadikan organisasi itu terarah pada ideology yang masih mengambang itu. Disini kemudian Ciputat menganggap perlu untuk me-reaktualisasikannya kembali dalam bentuk metamorfosa guna menjadi kupu-kupu yang sempurna dari proses metamorfosa tersebut. Namun tentu masih menjadi pertimbangan panjang terhadap proses rekayasa masa depan.

Metamorfosa itu adalah pertama, social justice yang mengarah pada arah nilai universal dalam islam yakni al-‘adalah (keadilan) dan tasamuh (toleransi, kesetaraan). Kedua, Enlightenment sebuah bentuk rekayasa inteletual sebagai nilai akademisi yang mengarah pada integralisme dan konvergensi terhadap ilmu pengetahuan yang dianggap kemudian kebagai bentuk kecerdasan intelektual. Ketiga, adalah tajdid at-Turats yang memiliki agenda pada tarnsformasi Islam dengan dua landasan utama yakni purifikasi (ruju’ ila qur’an wa sunnah) dan dinamisasi (tajdid ad-din) terhadap teks keagamaan itu sendiri.

Hal diatas, memang perlu diterjemahkan lebih komprehensif dan faktual yang kemudian agaknya diharapkan menjadi arah pergerakan yang lebih actual dan otentik. Yakni bagaimana kemudian sebuah idealism terwujud kedalam aplikasi logis terhadap permasalahan yang ada.

Mengagagas Format Intelektual

Pertanyaan pertama yang kemudian muncul adalah kenapa harus intelektual yang menjadi frame terpenting dalam gerakan ini. Bahkan dalam suatu kesempatan Syafii Maarif pernah menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah harus menjadi gerakan keilmuan, yang kemudia IMM harus mengaplikasikannya menjadi second university bagi para mahasiswa. Kemajuan zaman adalah jawaban yang paling jelas dalam pertanyaan ini dan respon terhadapnya adalah sebuah kewajiban. Maka tindakan rasional sangat tidak mungkin terlaksana tanpa pemahaman intelektual an sich. Maka sangat ironis jika dunia telah memperbincangkan tentang demokrasi, civil society, human right, social justice dan sebagainya namun masih ada mahasiswa yang masih terkotak dalam budaya primordial dan mengutamakan emosi dan otot sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan.

Dalam wacana konsolidasi demokrasi misalnya, demonstrasi saat ini dianggap penting sebagai media penyampaian pendapat, namun disisi lain lebih sering hanya berujung anarki dan bentuk penekanan. Padahal demontrasi adalah bagian kecil dari proses konsolidasi demokrasi, yang kemudian lebih penting adalah bentuk lobi dan negosiasi yang memang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni. Disini kemudian IMM harus memilih bagian dari model konsolidasi demokrasi tersebut. Dimana maksud dari negosiasi demokrasi adalah bentuk perlawanan dialektis yang jauh dari bentuk anarki.

Yang disisi lain format intelektual lebih sering difahami mahasiswa hanya berkisar pada teks kampus dan jauh dari realitas diluar. Bisa jadi hanya pada nilai IPK, ataupun bentuk formal dalam bentuk ijazah yang kemudian Perguruan Tinggi tidak lebih sebuah PT (Persero Terbatas) yang mencetak prosuk berlebel maupun mesin yang siap dipekerjakan pabrik-pabrik dan sebagainya yang jauh dari sisi kemerdekaan manusia. Sehingga intelektual haruslah memiliki format yang jelas dan mampu menjadikan manusia lebih manusiawi.

Inilah yang kemudian sebenarnya telah lama digulirkan oleh para sarjana muslim klasik (classical Muslim Scholars) hingga yang modern dalam bentuk integralisme dan konvergensi ilmu pengetahuan. Dimana integrasi disini adalah bentuk pemahaman tentang ilmu pengetahuan isu sendiri sebelum terkotak balam berbagai bidangnya dalam bentuk ilmu yang aplikatif sebagai pemecah terhadap realitas permaslah yang dihadapi. Jika seseorang yang bergelut dalam bidang kedokteran, sains atau ilmuan apapun tidak serta merta menghilangkan diri dalam realitas sosial yang dihadapi. Yang kemudian dengan pemahaman integarsi ini mampiu memberi berbagai aternatif terhadap permasalahan sosial seperti kemiskinan, bukan berarti ilmu kedokteran, teknologi, bahkan agama sekalipun sama sekali tidak terkait dengan hal ini. Namun semua harusbersinergi dan ikut memberi solusi terhadap permasalahan tersebut. Yang dengan demikian ilmu pengetahuan akan kembali pada ranah yang sebenarnya yakni menjadikan manusia yang manusiawi, memiliki jiwa sosial, dan peka terhadap ketidakbenaran.

Sedangkan konvergensi yang dimaksud adalah menghilangkan dikotomi antara ilmu agama dan non-agama. Selain sebagai bentuk kata Islam dalam catatan tujuan dari gerakan IMM itu sendiri, bahwa hal inilah yang dirasa oleh banyak cendekiawan muslim di dunia sebagai awal mula kemunduran Islam dalam pradaban dunia. Yang kemudian memunculkan berbagai teori tentang penyatuan antara ilmu agama dan non-agama, seperti Naquib Alatas yang mencoba memaparkan adanya upaya islamisasi ilmu pengetahuan, atau Hamid Zarkasi yang kemudian mengenalkan Islamic Word View sebagai bingkai ilmu pengetahuan, atau bahkan model Amin Abdullah dan Mulyadi Kertanegara yang mengungkap pembagian ilmu pengetahuan dari awal fitrah manusia yakni tauhid. Dimana sebenarnya umat Islam merindukan adanya ilmuan ensiklopedi yang mampu mengkombinasikan antara ilmu agama dan umum seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusd, al-Khawarizmi dan sebagainya yang kesemuanya tidak hanya dianggap mampu dalam bidang agama namun juga teknologi dan berbagai ilmu terapan.

Dua hal ditas menjadi sangat penting karena kemudian manusia ternyata mengalami titik balik peradaban yang sangat jauh. Jauh, karena memang seolah peradaban manusia saat ini seperti tidak mungkin dibayangkan oleh zaman peradaban sebelumnya, sebutlah sebelum masehi selain itu ternyata manusia modern tidak bisa menjawab tantangan peradaban lama bahwa seperti Piramid, Borobudur tetaplah tidak sebanding dengan peradaban perhotelan dan gedung mewah dari sisi artistic, penggunaan media hingga mistic. Mungkin pembaca akan bertanya kenapa mistic, karena ternyata peradaban manusia tidak pernah terlepas dari pengaruh adanya sesuatu yang entitas absolute ditengah manusia (baca Tuhan). Yang dengan demikian Agama tidak bisa terlepas dari tanggung jawab peradaban, begitu juga bahwa peradaban manusia untuk lebih manusiawi tidak bisa dilepaskan dari perkenalan para agamawan dengan ilmuan dalam suatu personal yang tidak terpisah. Sehingga bukan seperti Newton yang gagal (menurut penulis) dalam menerjemahkan keagamannya dalam karya Celestial Mechanics yang kemudian ditanya oleh Napoleon kenapa tidak ada kata Tuhan dalam karya itu, kemudian ia hanya menjawab “I don’t need that kind of hypothesis”.

Membingkai yang berserakan

Dengan demikian memang intelektual adalah pilihan rasional dari gerakan ini, bukan yang lain. Memang pada awalnya IMM dibentuk untuk meramaikan agenda dakwan dalam kampus-kampus di negeri ini, namun dengan perkembangan zaman kata ‘dakwah’ menjadi momok agama yang seolah tidak terkait dengan realitas dan kreatifitas kemanusiaan. Pendapat ini tentu boleh dibantah oleh mereka yang tidak berfikir demikian, namun yang menjadi esensi adalah wujud dari sikap kritis dan terhadap setiap realitas sosial itu. Yang disinilah muncul dari arah akademisi Islam yang dicita-citakan.

Inila yang menunjukan bahwa intelektual pun harus terarah dan menjadi penting dalam proses rekayasa masa depan peradaban manusia. Karena memang benar apa yang di ungkap oleh Ahmad Dahlan bahwa suatu saat nanti kita akan menjadi dokter, insinyur, hakim dan sebagainya namun harus kembali ke Muhammadiyah. Yang memiliki tafsiran bahwa nilai universal islam harus tetap menjadi bingkai dalam proses pembetukan Akademisi Islam yang menjadi cita-cita mulia itu.

Saat ini bentuk integrasi dan konvergensi ilmu pengetahuan mulai memunculkan dirinya. Tinggal bagaimana kemudian apakah gerakan IMM menjadi bagian yang ikut serta menjadi catatan sejarah intelektual ataukah hanya menjadi sampah sejarah yang setiap generasi akan dilupakan oleh generasi selanjutnya. Walaupun demikian ini adalah hanya salah satu pilar dari perwujudan akademisi Islam sesunggugnya dari tiga pilar yang menjadi momok penting kompetensi Ikatan ini yakni Social justice, Enlinghtenment dan tajdid at-Turats.

RECOVERY OUR INDONESIA

RECOVERY OUR INDONESIA

Oleh: Cecep Suyudi M

Persoalan paling fundamental bagi bangsa yang baru merdeka adalah masalah penemuan jati diri. Amerika serikat misalnya, ketika baru saja merdeka dari Inggris menyebut tahun-tahun awal kemerdekaannya dengan “Abad penemuan jati diri”(The Age of Discovery) (Kompas, 15/8).

Begitu juga apa yang terjadi di Indonesia. Pada awal-awal tahun kemerdekaannya, founding fathers kita menyibukkan diri dengan persoalan penemuan jati diri. Pertarungan ideologi – terutama – antara kubu Islamis (Natsir cs) dan kubu Nasionalis (Soekarno cs) adalah gambaran paling nyata menyangkut pergulatan pencarian jati diri ini. Untuk berdirinya sebuah bangsa yang bernama Indonesia, mereka berusaha meletakkan terlebih dahulu satu pandangan hidup (weltanschauung) hal mana disebut Soekarno sebagai philosophische grondslag.

Nasionalisme dan Pancasila

Syarat sebuah bangsa menurut Ernest Renan adalah “le desir d’etre”, yaitu kehendak untuk bersatu. Menurut syarat ini, definisi sebuah bangsa adalah satu kelompok manusia yang mau bersatu dan merasa dirinya bersatu. Otto Bauer dalam bukunya “Die Nationalitatenfrage”, menyebutkan, Eine Nation ist eine aus schiksalsgemeinschaft (bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).

Definisi bangsa yang dikemukakan oleh Renan dan Otto Bauer ini agaknya selaras, ibarat gayung bersambut dengan realitas keindonesiaan. Indonesia adalah proyeksi dari kemauan sekelompok orang untuk bersatu. Adalah penjajah yang membuat orang-orang di dalamnya merasa senasib dan sepenanggungan yang pada gilirannya membuat mereka berasatu padu untuk mengusirnya dengan membuat border perjuangan dengan nama Indonesia. Penjajah menjadi common enemy dan menjadi semacam rahim besar yang melahirkan sebuah bangsa yang disebut Indonesia.

Soekarno agaknya sangat memahami situasi ini. Tapi untuk definisi bangsa, ia menambahkan satu hal. Definisi Renan dan Bauer menurutnya sudah verouderd, sudah lapuk. Ia manambahkan geopolitik sebagai salah satu syarat sebuah bangsa. Bangsa, disamping menyangkut tentang perangai manusia, juga termasuk bumi yang mereka diami atau yang kita sebut dengan tanah air.

Menurutnya, bumi ini sudah dikapling-kapling sedemikian rupa oleh Tuhan. Jika kita melihat ke dalam peta dunia, maka kita dapat melihat dengan jelas bahwa kepulauan Indonesia adalah satu kesatuan. Realitas ini menjunjukkan bahwa mengikat pulau-pulau itu ke dalam satu ikatan persaudaraan menjadi satu keniscayaan.

Kenyataan bahwa Indonesia sangat plural dengan aneka ragam agama dan budayanya juga dibaca dengan baik oleh Soekarno. Itulah alasan mengapa ia bersikukuh mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Dan Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan yang tepat bagi bangsa Indonesia. Inilah pandangan hidup dan jati diri bangsa Indonesia.

Hilangnya Jati Diri

Secara de facto maupun de jure, bangsa Indonesia memang masih tetap eksis. Jika kita melihat ke dalam peta dunia, di situ terlihat dengan jelas titik pembatas antara Indonesia dengan negara lain atas apa yang disebut dengan geopolitik. Sampai saat ini bentuk negara kita juga tak berubah, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kita masih satu atap di bawah naungan Sang Saka Merah Putih, di atas Pancasila, dan di atas semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Burung garuda adalah lambang negara kita. Bahasa Indonesia juga masih diberlakukan sebagai komunikasi antara suku yang berbeda. Lagu kebangsaan kita masih tetap Indonesia Raya, cipt. WR Supratman. Kita punya pemerintahan, punya rakyat, dan punya konstitusi.

Namun apa yang baru saja kita list baru sebatas identitas fisik. Hal-hal formal yang terkait dengan atribut sebuah bangsa. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah semua itu berjalan dan dihayati berikut ruh dan jiwanya?

Jika kita melihat realitas bangsa kita belakangan, maka kita akan segera dapat menyatakan bahwa bangsa kita hari ini sedang kehilangan jati diri. Semangat nasionalisme yang digagas oleh founding father negeri ini dengan taruhan darah dan tetesan keringat mulai luntur dari sanubari bangsa kita. Pancasila menjadi perdebatan baru yang eksistensinya kembali dipertanyakan.

Semangat primordial kembali menguat dan menunjukkan taring keegoannya. Perasaan senasib sepenanggungan yang dulu pernah membara, kini hilang ditelan keserakahan. Yang ada adalah jurang pemisah yang begitu curam antara si kaya dan si miskin.

Kesejahteraan yang dulu dicita-citakan ternyata hanya dimonopoli oleh orang-orang tertentu. Bangsa ini juga terjangkiti sindrom inferior. Disebut warga negara Indonesia seolah-olah kejatuhan stigma negatif. Sebuah negeri yang terkenal dengan kemiskinan dan TKI-nya. Kita juga lebih bangga mengenakan produk luar negeri daripada produk negeri sendiri.

Berhimpun Dalam Kebhinekaan

“Kami menyadari sepenuhnya akan panggilan dan makna kami sebagai kaum muda adalah salah satu faktor penggerak untuk sesuatu yang lebih berarti bagi tercapainya cita-cita bangsa Indonesia, menuju jenjang yang lebih tinggi dan luhur, demi tercapainya masa depan yang lebih baik”.

Kalimat tersebut merupakan salah satu paragrap yang tertuang pada naskah deklarasi pemuda 23 Juli 1973. Sebuah kesadaran dan kegundahan yang begitu kuat terasa bagi para pemuda akan peran dan eksistensi pemuda untuk masa depan bangsanya, bentuk kesadaran yang kemudian membuka sekat-sekat perbedaan, ego kelompok, kepentingan invidual dan golongan sehingga tercapai harmonisasi langkah pemuda dalam mengisi ruang-ruang kemerdekaan sekali lagi menuju cita-cita bangsa Indonesia, menuju jenjang yang lebih tinggi dan luhur, demi tercapainya masa depan yang lebih baik demi tercapainya masyarakat yang sejahtera.

Maka dari itu, posisi IMM sebagai bagian dari gerakan kaum muda di atas perlu menjadi perhatian yang serius oleh para kadernya. Elitisme IMM yang akhir-akhir ini lebih banyak muncul dalam ruang pemikiran dan kekuasaan, penting untuk dibahasakan pada level rakyat (domain public). Sebab kehadiran IMM bukanlah untuk kepentingan elit, melainkan untuk kepentingan rakyat itu sendiri. Dalam banyak dokumen, seperti piagam pernyataan deklarasi, ditemukan bahwa IMM adalah gerakan kemahasiswaan Islam yang menempatkan diri pada garda gerakan moral-intelektual yang berbasis kerakyatan (Populer Intellectual).

Berangkat dari sinilah, elitisme-intelektual dan gerakan IMM perlu diruntuhkan untuk menempatkan pada jati diri yang sebenarnya, yaitu gerakan intelektual yang mengayom pada kepentingan rakyat. Catatan ini menujukkan dengan tegas, bahwa IMM merupakan kaum inetelektual yang menjadikan kepentingan-kepentingan publik dan permasalahan ketidakadilan sosial politik sebagai komitmen gerakannya. Permasalahan ketidak adilan sosial politik yang semakin akut berdampak pada terhambatnya pembangunan demi tercapainya kesejahteraan rakyat.

Maka dalam rangka mengembalikan IMM pada jalan yang istiqomah demi tercapainya cita-cita ikatan dengan gerakan-gerakan kerakyatannya, maka perlu adanya tafsir baru terhadap ideologi dan paradigma gerakannya. Semoga muktamar IMM yang ke-14 ini mampu merumuskan pola-pola dasar untuk mengelola dan mengembangkan modal sosial (Social Capital) internal maupun rakyat negeri ini dengan melakukan pemberdayaan secara intensif dalam lingkungan yang nyata serta mampu kembali memberikan arti bagi kehidupan kita berbangsa yang lebih baik. Selamat MUKTAMAR..Jaya lah IMM, Abadi perjuangan Kami!!!

*Penulis adalah Ketua Umum PC IMM Ciputat periode 2007-2008 dan Ketua Bidang I DPD IMM DKI Jakarta periode 2009-2011

MENILIK POLA KADERISASI IMM DALAM ANALISIS POLITIS

MENILIK POLA KADERISASI IMM DALAM ANALISIS POLITIS

Oleh : Syaifudin Zuhri*

Berbicara IMM adalah berbicara muhammadiyah. IMM sebagai underbow dari muhammadiyah mempunyai usaha untuk menjadi pelopor, pelangsung dan penyempurna cita-cita luhur pembaharuan yang tersimpulkan dalam trinitas IMM atau kerap disebut dengan tiga kompetensi dasar gerakan, yakni intelektualitas, humanitas dan religius.

Sebagaimana dikutip Buya Syafi’i Ma’arif dalam jurnalnya vol. 4 no.1 (2009) bahwa Muhammadiyah bergerak di sektor sosio-religius, pendidikan, dsb yang mengarahkan kepada pemberdayaan masyarakat. Gerakan seabad Muhammadiyah harus merambah ke sektor-sektor lain diantaranya adalah sektor sosial-politik. Tercatat juga oleh Dr. Alfian dalam “Politik Kaum Modernis” (2010) Muhammadiyah bukanlah organisasi yang anti-politik.

Keliru bila kita beranggapan bahwa Muhammadiyah yang tidak mengharuskan bermazhab dalam ilmu fiqh juga tidak terjun ke politik praktis. Sebab, Sepanjang sejarah perpolitikan di Indonesia, ormas yang berhaluan modernis-moderat yang muncul di Yogya tahun 1912 ini, mempunyai peranan penting dalam dinamika politik dan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Di uraikan oleh Deliar Noer dalam “Partai Politik Islam Indonesia” (2005), Muhammadiyah meski dalam khittahnya tidak melegalkan unsur ideologi politik dalam latar belakang kemunculannya di tubuh Muhammadiyah tetapi tetap saja ada persinggungan yang sinergis dengan pergolakan kemerdekaan indonesia.

Di mulai dari kiprah KH. Mas Mansyur yang mendirikan Majlisul Islam A’la Indonesia (MIAI) bersama KH. Chasbulah (NU) dan W. Wondoamiseno (Syarekat Islam) pada 21 september 1937. Tujuannya adalah menjadi wadah pemersatu, organisasi perdamaian dan alat perjuangan politik yang didukung oleh seluruh organisasi Islam (Al-Irsyad, al-khairiyah, al-islam, hidayatul islam , dll). Selanjutnya, beberapa tokoh Muhammadiyah yang dipimpin oleh dokter Soekiman mendirikan Partai Islam Indonesia (PII) pada 4 desember 1938. Partai ini berasal dari forum diskusi islam studie club pimpinan KH Mas Mansyur dan dalam waktu singkat PII bisa mencapai 145 cabang di seluruh Indonesia tetapi vakum ketika pecah perang pasifik.

Pada zaman pendudukan jepang, KH Mas Mansyur bersama Soekarno, Hatta dan Ki Hajar Dewantara, pada 9 maret 1943 mendapatkan mandat dari Jepang membentuk pusat tenaga rakyat (Putera) yang bertujuan agar bangsa Indonesia loyal kepada Jepang. Menjelang kemerdekaan, beberapa tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimejo, Prof. Kahar Mudzakir terlibat dalam panitia persiapan kemerdekaan Indonesia dan perumusan UUD 45.

Pasca-kemerdekaan, pada 7 november 1945 di Yogya sebuah partai politik bernma Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau akrab disebut Masyumi mendapat dukungan dari semua organisasi Islam yang muncul dari MIAI. Pendukung terbesar adalah NU dan Muhammadiyah yang bertujuan guna menegakkan kedaulatan negara dan agama Islam serta melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan. Selama itu, persyarikatan Muhammadiyah yang memang sejak awal berdirinya bukan merupakan organisasi politik, menjadi bagian penting dari Masyumi sebagai anggota istimewa.

Pada zaman orde lama, ketika muncul organisasi fungsional dengan terbentuknya Sekber Golkar 1964, Muhammadiyah ikut pula berbaur di dalamnya. Awal orde baru 1968, Muhammadiyah mendukung partai Parmusi dan sempat dipimpin oleh Pak Lukman Harun (Tokoh Muhammadiyah). Pada era reformasi, Muhammadiyah terlibat dalam kelahiran PAN melalui sidang tanwir di semarang 1998 dan ketika pemilu kemarin, PMB muncul yang didirikan oleh orang-orang Muhammadiyah juga atas reaksi dari klaim bahwa PAN bergerak sudah tidak sesuai dengan ajaran Muhammadiyah.

Untuk saat ini, terlalu naif bila warga Muhammadiyah memandang kancah politik sebagai aspek yang bukan proiritas dari misi ke-Muhammadiyah-an. Bagaimanapun juga, melek politik menjadikan Muhammadiyah terus berjuang sebagai organisasi sosial keagamaan dalam kehidupan bernegara.

IMM, khususnya IMM ciputat yang menjadi salah satu basis pengkaderan dari aktivis Muhammadiyah tidak serta merta terus melakukan gerakan monoton yang antipati terhadap sektor politik, justru basis kompetensi intelektualitas bukan sekedar dalam tataran akademis namun juga harus dalam tataran praktis dengan cara mengarah pada humanitas. Dengan demikian apa yang menjadi sifat Muhammadiyah ada dalam ruh gerakan IMM yang religius, tetap berdakwah di masyarakat sekitar khususnya di masyarakat kampus (civitas akademika). Selain itu, Pak Din Syamsudin dalam diskusi antar ortom Muhammadiyah juga menambahkan IMM harus bergerak dalam amar ma’ruf nahi mungkar di kampus.

Partai progresif adalah representasi media dakwah dari aktivis IMM ciputat, begitu juga Partai Parmasi sebagai representasi dari IMM UAD Yogyakarta dan Partai dari IMM-IMM lain di seantero Nusantara ini bergerak di lini perpolitikan kampus. Akan tetapi, semua partai-partai pemilu kampus tersebut bernasib sama seperti halnya yang terjadi di Ciputat. Kader IMM tidak begitu antusias berkiprah di sektor ini.

Mulai saat ini perlu bagi kader IMM untuk sadar politik. Prof. Dr. Din Syamsudin, MA. sendiri memulai dengan mendirikan partai merah di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Atas dasar cita-cita untuk memperjuangkan aspirasi politik mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dalam hal ini, aspirasi yang dimaksud adalah aspirasi adik-adik kandung ideologis Pak Din (kader-kader IMM).

Hal yang harus dipahami adalah Muhammadiyah dalam perjalanan sejarah mengajarkan pola kehidupan berbangsa dan bernegara, diantaranya dakwah melalui jalur politik praktis meski secara “konstitusi organisasi” tidak disebutkan. Begitu juga dengan IMM, mahasiswa yang mendasari diri dengan doktrin Trinitas (Tri Kompetensi Dasar) Ke-IMM-an tidak bisa menafikan jalur politik sebagai media dakwah ajaran Muhammadiyah dalam kampus. Sehingga sektor politik bukan menjadi hal yang tabu lagi bagi kader IMM.

*Komisariat FISIP IMM Ciputat. Anggota Forum Kajian GPPI (Gerakan Pemuda Patriot Indonesia) dan salah seorang pendiri Forum Kajian OMBAK (Obrolan Mahasiswa Gelisah Intelektual).

IMM dan Perkaderan

IMM dan pengkaderan

Oleh: Fara

Melihat kenyataannya saat ini, perekrutan kader pada Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sangat kecil dibandingkan dengan organisasi ekstra kampus lainnya. Namun hal ini hanya sering dijumpai pada universitas-universitas umum seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beda hal nya pada universitas-universitas dibawah naungan muhammadiyah, seperti UMJ,UHAMKA,STIE Ahmad Dahlan,dan sebagainya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kader merupakan hal yang penting untuk regenerasi suatu roda organisasi, dimana kader-kader tersebut akan menjadi penerus dan pewaris tampuk pimpinan umat, dalam, hal ini untuk organisasi IMM.

Berdasarkan konteks diatas, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa pengkaderan di dalam tubuh IMM tergolong sedikit atau rendah? Apakah strategi yang digunakan dalam pengkaderan IMM kurang tepat? Serta bagaimana nantinya jika regenerasi dalam tubuh IMM terputus?

Kemungkinan yang menyebabkan rendahnya pengkaderan dalam IMM dikarenakan IMM sendiri yang berbeda dari pengkaderan organisasi ekstra lainnya. Dimana pada IMM masih menerapkan dan menekankan budaya-budaya diskusi dan membaca untuk mengenalkan dan memperlihatkan keexisan IMM pada calon kader, hal demikian sebenarnya baik, namun kurang tepat dalam usaha membangun rapport/ pendekatan dengan calon kader. Mengenai strategi, akan lebih baik jika IMM mengubah strateginya. Misalnya dengan cara kader IMM yang sudah ada, turun langsung mengajak dan sharing tentang sesuatu yang diharapkan oleh calon kader dalam sebuah organisasi. Yang dituntut disini adalah pinter-pinternya pendekatan interpersonal dalam mengenalkan IMM pada calon kader. Seperti yang diulas di atas, bahwa pengkaderan sangat penting untuk regenerasi suatu roda organisasi, maka bagaimanapun caranya IMM harus memiliki kader dengan segala usaha-usaha yang harus dilakukan, namun harus tetap mengedepankan tujuan-tujuan IMM.

Menurut teori behavior dalam ilmu psikologi, manusia akan merespon segala stimulus-stimulus yang datang padanya. Teori ini dapat diterapkan pada calon-calon kader IMM. Dimana kader-kader IMM yang sudah ada memberikan stimulus-stimulus tertentu agar calon kader merasa tertarik dan penasaran dengan organisasi IMM dan akhirnya ia memutuskan untuk terjun didalamnya. Berdasarkan konteks social juga, setiap individu merupakan mahluk social, dimana ia berada di dalam suatu masyarakat dan dituntut untuk berperan di dalamnya. Untuk itu sangat dibutuhkan pendidikan organisasi pada setiap individu. Hal tersebut dapat dijadikan dasar pengkaderan oleh IMM.

Dari seluruh uraian di atas mengenai pengkaderan dalam IMM dapat ditarik kesimpulan bahwa apapun kegiatan atau strategi pengkaderan haruslah mewadahi semua aspirasi dan pengembangan potensi yang dimiliki oleh kader-kader IMM. Sehingga seluruh kader dapat mengaktualisasikan dirinya dan selalu berfastabiqul khairat..