SIKAP CENDEKIAWAN EKONOMI ISLAM DALAM MENDORONG KEMAJUAN PERADABAN
Oleh: Amalia Nasuha
A. PENDAHULUAN
Melahirkan kembali Cendekiawan Muslim pada zaman sekarang bukan hanya perkara lulusan Universitas yang mampu membuat penemuan-penemuan baru kemudian dapat diimplementasikan secara riil. Sebab, gagasan-gagasan cendekiawan merupakan sesuatu yang dinamis. Tingkah laku ekonom selalu berubah setiap saat. Jika perilaku ekonomi berubah, teori-teori yang harus digunakan untuk mengatasi masalah yang dihadapi juga harus diubah. Dalam hal ini harus diperhatikan bahwa bukan fakta yang harus menyesuaikan diri dengan teori-teori ekonomi. Akan tetapi, teori-teori ekonomi yang harus menyesuaikan diri dengan fakta.[1]
Selain teori mereka yang berkembang dinamis, masih banyak hal-hal lain yang perlu ada dalam jiwa para Cendekiawan Muslim. Dalam Wikipedia disebutkan, Cendekiawan atau intelektual ialah orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, membayangkan, mengagas, atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan. Namun, lebih dari kemampuan intelektual, seorang Cendekiawan juga harus menyadari, memahami, dan menghargai sejarah masa lalu. Selain itu juga menerima dan mangakui hasil peradaban kontemporer, tidak eksklusif, namun berwawasan global. Dan yang paling penting, mereka dapat mensinergikan keutuhan ummat sebagai pendorong kemajuan dunia.
B. PEMBAHASAN
Memiliki Kesadaran Terhadap Sejarah Kemegahan Masa Lalu Umat Islam
Manusia adalah makhluk yang hidup dalam sejarah. Atinya, manusia dapat mempengaruhi sejarahnya di kemudian hari atau dipengaruhi oleh sejarah masa lalu. Sejarah dapat membentuk, memperkaya, atau membantu menemukan jati diri. Kehadiran sejarah yang dilalui tidaklah statis, akan tetapi terus bergerak dinamis dan tidak akan berhenti, hingga tidak ada lagi kehidupan di dunia. Intinya, manusia dan sejarah tidak dapat dipisahkan, sehingga diperlukan kesadaran bersejarah.
Sejarah pemikiran ekonomi muncul di Dunia atas kecerdasan orang-orang yang mampu menerjemahkan kejadian yang dialami ke dalam teori yang dibangun. Kisah keterpurukan dan kegemilangan masa pemikiran ekonomi memiliki periodisasi sejarah yang amat panjang. Sejarah tersebut kadang muncul dan tenggelam dengan atau tanpa sengaja. Hal inilah yang kemudian sempat dilakukan oleh pemikir Barat mengenai teori-teori ekonomi yang mereka bangun. Teori ekonomi yang mereka cetuskan tidak murni pemikiran mereka sendiri. Mereka sesungguhnya hanya merakit dan meramu berbagai pikiran pendahulu-pendahulunya.
Menurut Josep Schumpter, telah terjadi “Great Gap” selama 500 tahun dalam sejarah pemikiran ekonomi, masa ini dikenal sebagai the dark ages. Ia mengatakan dalam karyanya “History of Economic Analysis”, bahwa pemikir ekonomi muncul pertama kali di zaman Yunani Kuno abad 4 SM dan bangkit kembali pada abad ke 13 M oleh pemikir skolastik Thomas Aquinas. [2] Bertolak belakang dengan kondisi Barat, masa kegelapan Barat tersebut adalah masa kegemilangan Islam. Banyak pemikiran-pemikiran ekonomi Islam yang dijadikan rujukan bagi mereka (Barat) .Hal inilah yang ditutupi Barat agar pemikiran dan teori yang mereka bangun dianggap orisinil.
Sejarah membuktikan bahwa pemikiran ekonomi Islam telah lahir sejak masa Rasulullah Nabi Muhammad SAW. Kemudian dilanjutkan pada masa Khulafaur Rasyidin, Daulah Umayyah, Daulah Abbasiyah, Daulah Turki Usmani. Setelah itu ekonomi islam semakin cerah di tangan Ilmuwan muslim pada era klasik. Banyak yang menulis dan mengkaji ekonomi Islam tidak saja secara normatif, tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan metodologi yang sistimatis[3], seperti Al Muqoddimah Ibnu Khaldun (1332-1404 M.), Majmu’ Fatawa Ibnu Taymiyah (1263-1328 M.), dan Ihya Ulumuddin Al-Ghazali (w.1111). Selain itu masih banyak ditemukan buku-buku yang khusus membahas bagian tertentu dari ekonomi Islam seperti, Kitab Al-Kharaj karangan Abu Yusuf (w.182 H/798 M), Kitab Al-Kharaj karangan Yahya bin Adam (.w.203 H), Kitab Al-Kharaj karangan Ahmad bin Hanbal (w.221 M), Kitab Al-Amwal karangan Abu ’Ubaid ( w.224 H ), Al-Iktisab fi al Rizqi, oleh Muhammad Hasan Asy-Syabany. (w.234 H).
Masih banyak lagi buku-buku lainnya, baik yang secara khusus berbicara tentang ekonomi ataupun buku-buku fikih yang hanya membahas masalah-masalah hukum ekonomi. Buku-buku tersebut sarat dengan kajian ekonomi, seperti kebijakan moneter, fiskal (zakat dan pajak), division of labour, fungsi uang, mekanisme pasar, monopoli, perburuhan, pengaturan usaha individu dan perserikatan, lembaga keuangan (baitul mal), syairafah (semacam Bank Devisa Islam). Mereka juga ada yang membahas kajian ekonomi murni, ekonomi sosial, dan ekonomi politik.
Kesadaran sejarah turut memengaruhi penafsiran yang kita laukan terhadap teks. Kita yang berada dalam situasi kekinian akan memahami teks dari masa lampau dengan prasangka yang dimiliki. Prasangka tersebut akan mempengaruhi penafsiarn yang dilakukan. Seorang penafsir tidak bisa tidak akan terikat dalam konteks sejarah tempat ia berpijak. Karena itu penafsir harus terbuka untu masa lampau, kini, bahkan yang akan datang.[4]
Memiliki cara berpikir ke depan, mandiri, dan berwawasan global: Tidak terjebak dengan sikap ekslusif.
Menjadi seorang cendekiawan harus terbuka dari segala sumber yang dapat menambah wawasan untuk menunjang cara berpikirnya. Dewasa ini, seperti dalam ilmu pengetahuan kontemporer, penjelasan agama terhadap fenomena kehidupan sering kali terabaikan, bahkan tertolak. Agama menjadi sesuatu yang sulit diterima untuk dijadikan bahan argumentatif dalam suatu pembahasan kehidupan.
Kondisi tersebut sesungguhnya memiliki sejarah panjang (kembali lagi kepada kesadaran sejarah) yang terjadi di Eropa, yaitu ketika agama mendominasi kehidupan dalam masyarakat, dan pada saat itulah geraja menjadi intruksi otoritatif atas kebenaran Tuhan. Namun, saat pergantian kekuasaan, otoritas agama yang mendominasi tadi menjadi lumpuh. Eropa melakukan revolusi kehidupan, dengan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai pusat pencerahan dalam peradaban dunia. Dari sinilah, agama ditinggalkan, dan ilmu pengetahuan harus bebas dari nilai-nilai agama.
Dalam kaitannya dengan intelektual di bidang ekonomi, Adam Smith dalam karya yang dianggap monumental, The Wealth of Nations (1776) mencetuskan sebuah teori yang dianggapnya merupakan buah pemikiran atas dasar ilmu pengetahuannya saja, teori itu dikenal dengan teori tangan gaib (invicible hand) yang mengasumsikan adanya suatu mekanisme yang bekerja dan mengatur sendiri dalam pasar. Mekanisme itu berjalan sesuai kehendak pasar. Padahal, dalam ekonomi Islam, teori tersebut sudah terjadi pada masa Rasulullah Nabi Muhammad SAW. Pada saat di Madinah, terjadi masa paceklik, sehingga harga-harga melambung tinggi, dan para sahabat meminta Nabi SAW menetapkan harga. Namun Nabi SAW menolaknya, dan mengatakan: Allahu al-musta’ir (Allah lah yang menetapkan harga). Dari sinilah, pasar dibiarkan berjalan sendiri dengan ketentuan Allah.
Paradigma Ilmu pengetahuan dan agama dalam Islam berbeda dengan paradigma Barat. Islam tidak memandang ilmu pengetahuan sebagai musuh keimanan atas konsep kepercayaan terhadap Tuhan, Allah SWT. Islam memandang bahwa ilmu pengetahuan merupakan instrumen yang ditujukan untuk memperkokoh keimanan itu sendiri. Sebaliknya, Islam justru menuntut ummatnya untuk menguasai pengetahuan dalam banyak tantangan retoris al-Qur’an, tidakkah kamu melihat, tidakkah kamu perhatikan, tidakkah kamu mengetahui, tidakkah kamu berfikir.[5]
Oleh sebab itu, tidak lah baik jika seorang cendekiawan muslim hanya terjebak kepada sikap eksklusif nya sendiri, entah itu agama saja, nalar dan pengetahuan saja, sehingga dapat bergerak secara praktis dan pragmatis. Dengan begitu akan sulit bagi mereka menerima dan mengakui hasil peradaban di dunia kontemporer dan tidak berpikir secara mandiri.
Mensinergikan keutuhan ummat sebagai pendorong kemajuan peradaban Islam memiliki fokus yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan. Perpaduan antara dua sumber pengetahuan ini berikut proses pencariannya inilah yang kemudian membangun dasar-dasar keilmuan dalam Islam. Yusuf Qaradhawi (2002) menyatakan bahwa dalam Islam, ilmu pengetahuan menjadi sangat penting untuk dimiliki sebelum melakukan suatu tindakan. Hal ini dikarenakan bahwa dari pilar-pilar keilmuan Islam tersebut, kemudian akan menjadi dasar bagi pembangunan peradaban Islam.
Namun, kondisi ideal ilmu pengetahuan dan Islam sangat jauh dari kenyataan. Saat ini, ilmu pengetahuan tengah ‘dijauhkan’ dirinya dari dari sentuhan Islam sebagaimana dalam konsep ilmu pengetahuan kontemporer. Pada saat yang bersamaan, ummat Islam pun jauh dari ilmu pengetahuan dan lekat dengan kebodohan. Revitalisasi keilmuan Islam bukan sekedar membangkitkan kapasitas intelektual kaum cendikiawan muslim semata. Lebih jauh dari itu, langkah tersebut merupakan sebuah upaya merealisasikan komitmen pada kebenaran.
Pandangan Islam Terhadap Problematika Ekonomi
Islam beranggapan bahwa problematika ekonomi adalah buruknya sistem distribusi, dan bukan minimnya produksi. Perkara ini bisa dirasakan setiap manusia tanpa memandang keyakinan yang mereka peluk. Di seluruh dunia terdapat barang-barang produksi yang melebih kebutuhan umat manusia. Akan tetapi, karena buruknya sistem distribusi menjadikan sebagian orang menjadi kaya secara dzalim, dan sebagian lainnya menjadi miskin.[6] Jadi, problem yang paling utama adalah persoalan distribusi, baru kemudian produksi.
Manusia membutuhkan suatu sistem yang adil, yang dapat memecahkan problematika ekonomi. Sistem tersebut adalah sistem ekonomi islam. Adalah suatu konsep yang dipakai oleh Volker Nienhaus dari Universitas Bochum untuk memperkenallkan kepada dunia akademis di Barat, tentang Ekonomi Islam, baik secara teori maupun sistem ekonomi terapan yang berorientasi kepada pandangan hidup (weltanschauung) Islam.[7] Saat ini Ekonomi Islam telah berkembang pesat dan cukup diperhitungkan di seluruh dunia tanpa terkecuali. Sistem ekonomi yang dibangun berdasarkan Al-Quran dan sunnah ini telah terbukti menjadi alternatif bahkan solusi sistem perekonomian kapitalis yang tengah menggerogoti dirinya. Perlahan, sistem ekonomi kapitalis ditengarai akan mengalami kehancuran.
Keutuhan Umat Islam: Sebuah Transformasi sempurna nilai-nilai Sistem Ekonomi Islam
Ditengah menjamurnya industri keuangan syariah di dunia yang mulai menjanjikan bagi industri dan pengusaha, serta apresiasi yang masyarakat berikan untuk sistem ini, sistem ekonomi islam semakin aktif dan gesit dalam mengamalkan dirinya di setiap kegiatan muamalah. Akan tetapi, seiring berkebangnya sistem ekonomi non ribawi ini, justru mulai menimbulkan keresahan bagi sebagian user.
Pengguna sistem ekonomi islam, yang terdiri dari akademisi, pengusaha, bankir, hingga rakyat jelata, mulai kritis terhadap sistem yang tengah mengisi perekonomian dunia. Tidak sesuainya pengamalan ekonomi islam dari sumber asalnya, membuat mereka menganggap ‘sama’ dengan ekonomi konvensional. Yang paling terlihat adalah proses pembiayaan di bank atau lembaga keuangan syariah. Syarat ataupun ketentuan yang dikenakan ke nasabah menyulitkan nasabah dalam mengakses pembiayaan. Selain itu, beberapa hal prinsipil dalam sistem ekonomi islam, bagi segelintir orang menganggap tidak syar’I nya bank syariah. Hal ini dikarenakan penggunaan mata uang yang masih berkiblat kepada mata uang sistem konvensional, yaitu fiat money.
Masih banyak contoh lain yang bisa dikaji dan diteliti lebih mendalam. Dampak dari ketidaksesuaian yang dialami masyarakat akan berpengaruh negative. Misalnya saja, sikap tidak ramah bankir syariah kepada nasabah dapat memberikan nilai minus dari masyarakat. Selain itu, adanya produk-produk perbankan syariah yang secara ‘terselubung’ masih menggunakan instrument ‘bunga’, akan menimbulkan tanda tanya besar atas sistem syariah yang dijalankan.
Terhadap problem-problem tadi, sekiranya perlu ada upaya evaluasi dan penyesuaian agar ekonomi islam dapat menjadi solusi kebaikan sistem ekonomi dunia. Para cendekiawan ekonomi muslim memiliki tanggung jawab besar dalam rangka meluruskan dan menyempurnakan pelaksanaan nilai-nilai ekonomi syariah. Dengan harapan, transformasi ekonomi islam yang tepat akan membuat ummat merapatkan barisan dan berupaya bersama membangun peradaban melalui ekonomi islam.
C. KESIMPULAN
Ilmu ekonomi yang dikembangkan oleh para pakar ekonomi pada masa awal (Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, Daulat), sampai fase ekonom kontemporer saat ini telah semakin maju dan canggih. Akan tetapi, ini bukan berarti semua persoalan manusia lantas berhasil diatasi. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari kita masih melihat selalu saja ada masalah yang dihadapi. Secara umum, masalah paling besar menyangkut persoalan ekonomi.
Seorang Cendekiawan Ekonomi Islam harus menggunakan seluruh sumber daya yang Allah berikan, tidak sebatas menjadikan teori sebagai satu-satunya yang dieksplor, atau dengan kata lain menganut positivism seperti yang terjadi pada ekonomi konvensional. Namun, berseberangan dengan itu, cendekiawan justru harus menjadi Rational Economic Man, yang mencirikan tingkah laku rasional agar menggunakan sumber daya karunia dari Allah.
Terlepas dari paradigma tersebut, Cendekiawan Ekonomi Islam dituntut memajukan peradaban dengan memiliki kesadaran sejarah, tidak terkungkung dalam eksklusivisme, serta dapat mensinergikan umat di seluruh dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad Husain. 2002. Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah
Amalia, Euis. 2007. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Granada Press
Deliarnov. 2007. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo
Rahardjo, Dawam. 1992. Pragmatisme dan Utopia; Corak Nasionalisme Ekonomi Indonesia. Jakarta: Penerbit LP3ES
[1] Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007), h. 246
[3] http://agustianto.niriah.com/2008/04/11/sejarah-pemikiran-ekonomi-islam-1/. Diakses pada tanggal 21 November 2010.
[4] Antoni Manurung, Relevansi kesadaran sejarah dalam teologi, http://forumteologi.com /blog/2007/06/01/relevansi-kesadaran-sejarah-dalam-teologi/. Diakses pada tanggal 21 November 2010.
[5] Khuzaifah Hanum, Islam dan Ilmu pengetahuan, http://hanumisme.wordpress.com /2009/09/15/islam-dan-ilmu-pengetahuan/. Diakses pada taggal 22 November 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar