Rabu, 22 Desember 2010

Gagasan

Mengembalikan Posisi Akademisi Islam

Oleh Ida Farida

Tak ada kelahiran kembali (reborn) tanpa diwarnai kegelisahan sebelumnya. Begitu pula jika kita hendak melahirkan Moeslim scholar yang mampu menjawab persoalan zaman di era kontemporer ini. Begitu banyak tantangan dan ruang kegelisahan yang menyelimuti.

Kegelisahan itu meliputi berbagai masalah global yang luar biasa serius. Peradaban ini seperti digerakkan oleh jiwa dan semangat yang penuh keserakahan, kesombongan, egoisme, hedonisme, dan ketidakpedulian akan kebutuhan dan kesusahan sesama manusia, termasuk alam dan kehidupan di masa depan.

Padahal, A.M. Turmudhi (1991:58) Al-Quran secara desisif menempatkan manusia pada posisi yang sedemikian sentral dan terhormat dalam kancah kehidupan, yakni sebagai “wakil” dan partner Allah di muka bumi. Itulah sebabnya umat Islam sudah seharusnya sadar akan tugas sejarahnya yaitu menciptakan tatanan dan kondisi kehidupan yang terus menerus menjadi lebih baik bagi seluruh umat manusia dan mewujudkan cita-cita Islam sebagai rahmat bagi alam semesta.

Islam, jelasnya, adalah karunia dan rahmat Allah yang diperuntukkan bagi manusia, untuk membimbing umat manusia sepanjang zaman. Itu sebabnya Islam sangat berkepentingan terhadap seluruh realitas hidup umat manusia, baik dalam relitas subjektif, realitas simbolis maupun dalam realitas objektif. Karena ketiga realitas tersebut senantiasa dalam perubahan, maka pembaruan keberislaman adalah keharusan sejarah yang terus menerus.

Tantangan

Sejarah membuktikan bahwa umat Islam selalu terpanggil untuk tampil merespon perkembangan zaman, lebih-lebih lagi pada saat yang krusial. Saat ini, yang harus lebih disadari bahwa dunia umat manusia ternyata terus menerus mengalami perubahan dan dengan segala tantangannya. Begitupun dengan pemikiran Islam di era kontemporer ini barangkali juga perlu mengalami perubahan.

Moeslim Abdurrahman (2009:150) menjelaskan bahwa berkembangnya alam pemikiran Islam dalam lingkungan kehidupan kaum Muslimin, sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Sejarah kontroversi antara kaum filsuf dan ulama, kalau dibaca kembali, telah menjadi khazanah intelektual Islam yang sangat bernilai. Sama sepadan harganya dengan warisan lain dalam peradaban Islam. Begitu pula tatkala kaum Muslimin menjumpai zaman baru, yakni zaman modern. Pada masa ini, alam pikiran Islam muncul sebagai rekan dialog untuk memprsoalkan berbagai isu modernitas.

Abdou Filali-Ansary dalam bukunya, Pembaruan Islam, Dari Mana dan Hendak ke Mana (2009:295-296) menjelaskan , sepanjang tahun-tahun terakhir, suatu ragam Islam yang lain daripada Islam yang biasa tampil pada perhatian dunia telah secara berkala dianjurkan dengan penekanan khusus. Di hadapan atau di samping Islamisme atau fundamentalisme, seruan-seruan mendesak terdengar bagi lahirnya atau munculnya sebuah Islam yang berbeda. Islam ini akan, atau harus, lebih spiritual dan kurang politis, lebih manusiawi dan kurang keras kepala, lebih “lembut” dan kurang “ganas”, lebih terbuka kepada yang lain-lain dan kurang keras.

Menurut sementara orang, Islam ini lebih merupakan kelanjutan dari sebuah tradisi yang berakar kuat dalam sejarah Islam, yang pada pokoknya tercipta dari spiritualitas, toleransi, dan kemanusiaan. Ia menjawab dengan lebih baik harapan dan penantian orang-orang abad ke-20. Lalu Abdou mempertanyakan, apa arti penting pengertian “pembaruan” keagamaan dalam konteks Islam masa kini? Haruskah ditunggu-tunggu kedatangan seorang “Luther Muslim” atau diharapkan sebuah “[Konsili] Vatican II” dari Islam? Atau bahkan, apakah itu harus dipahami dalam pengertian yang lebih luas, yang mengimplementasikan sebuah evolusi panjang sikap-sikap keagamaan, sebanding dengan yang terjadi dalam masyarakat-masyarakat modern, yang menampilkan lenyapnya kegaiban bagi manusia, berikut sekularisasi dari tatanan sosial politik yang diterima umum, serta penarikan diri agama kedalam ruang pribadi? Haruskah memikirkan hal ini menurut model pembaharuan yang berlangsung pada abad ke 16 atau bahkan yang terjadi lebih akhir lagi? Haruskah menyejajarkan semakin surutnya ikatan pada dogma dengan semakin besarnya pengaruh etika keagamaan pada mentalitas?

Demikianlah pertanyaan-pertanyaan yang Abdou bahas sepanjang perbincangan dengan para pemikir kontemporer dalam buku itu. Memang, Islam telah menjadi medan terbuka bagi penelitian dan perdebatan tingkat dunia, menjadi objek dan ruang komunikasi antara berbagai bidang kebudayaan. Sebagaimana dikatakan oleh Fazlur Rahman, “Sampai baru-baru ini, terbentuknya sebuah tradisi merupakan kerja eksklusif dari para pendukungnya. Sekarang keadaannya tidak lagi begitu, barangkali hal ini lebih banyak berlaku bagi kaum Muslim daripada umat-umat lain”. Sebuah gejala baru telah lahir: sebuah tradisi keagamaan khas menjadi objek sebuah perdebatan dengan peserta seluruh umat manusia.

Sebelum itu, dari perspektif Ibrahim Musa (2003:6), satu dari banyak pertanyaan utama yang menuntut perhatian otak Fazlur Rahman, juga beberapa sarjana Muslim abad ke-20 adalah bagaimana Islam sebagai warisan agama, budaya, politik dan etika menghadapi modernisasi dan perubahan dunia yang sangat cepat? Modernisasi dipahami dalam dunia Islam sebagai sebuah fenomena Janus-faced (berwajah ganda). Hal itu tentunya membawa keuntungan teknologi dan ilmu pengetahuan bagi masyarakat Muslim, tetapi dengan akibat yang berpengaruh luas pada kebudayaan dan nilai-nilai.

Beberapa masyarakat menghadapi modernisasi dalam cara yang pragmatis yang mengakibatkan keterputusan yang tak terduga dengan tradisi sejarah intelektual. Meskipun banyak pandangan ideologi yang luas di antara sarjana-sarjana Muslim modernis pada abad ke-19 dan 20, kebanyakan memiliki keinginan yang sama untuk menyatukan yang sekarang dengan yang dulu dalam cara-cara yang berbeda, untuk memelihara beberapa kontinuitas.

Epilog

Dengan demikian, dalam konteks Reborn the Moslem Scholars to Answer the Defiants on the Contemporary World, terlihat pentingnya peran yang mesti kita mainkan, terutama Moeslim Scholar di negeri ini. Kita semestinya tidak memandang diri sebagai suatu kelompok dengan identitas tersendiri yang sering kali membuat kita jauh dari umat-umat yang lain.

Tapi, menurut Buya Syafii Maarif (1991:73-74) inilah satu resiko yang harus ditanggung oleh sekelompok umat karena pemahamannya terhadap Islam belum lagi mandiri, orisinil dan tuntas. Bahkan, Buya sendiri merasa bahwa boleh jadi dia adalah salah seorang pemamahbiak pemikiran-pemikiran Islam yang berasal dari luar. Kemampuan kita untuk lebih independen dalam berpikir masih belum memadai. Orisinalitas dalam menafsirkan Islam dirantau ini masih menuntut pancingan. Perlu pemikiran baru untuk sebuah intelektual break-through yang bernilai strategis dalam proses menyiapkan masa depan yang lebih adil, manusiawi, egaliter, dan sudah barang tentu lebih islami.

Akhirnya sebagai seorang yang tidak pesimis menata masa depan, Buya dengan perasaan damai dan bangga menyambut kedatangan generasi yang lebih baru yang akan banyak melahirkan hasil-hasil pemikiran yang lebih orisinal dengan menekan sebisa mungkin bias-bias subjektifisme historis. Dengan cara ini, menurut Buya, kita akan lebih mampu melihat Islam dengan tenang, baik sebagai doktrin universal maupun sebagai gejala sejarah.

Pertanyaannya, apakah generasi yang diharapkan Buya itu adalah kita, sebagai penerusnya? Barangkali iya atau juga bukan. Sebab, agama bukan dihayati sebagai sebuah identitas yang gelisah, bukan hanya sebagai sebuah sikap spiritual dan etik. Itu hanya dapat bertahan selama masyarakat menerima saja tatanan politik, bukannya menyumbang mengarahkannya. Kita butuh karakteristik intelektual muslim baru yang aktif membenamkan diri dalam kehidupan praktis, buka sekadar sebagai orator di mimbar-mimbar, tapi juga sebagai perancang dan organisator.

Penantian kelahiran kembali generasi pemikir dan penggerak yang lebih muda masih ditunggu. Sebab, dalam tenggang waktu yang relatif dekat dengan generasi sebelumnya adalah pertanda dari dinamisme pemikiran Islam di Indonesia. Barangkali relevan kutipan Buya Syafii yang mengatakan, “Mungkin benar lah kata orang bahwa Islam di Indonesia terlalu besar untuk hanya dijadikan satelit.”

Reborn the Moslem Scholars to Answer the Defiants on the Contemporary World semoga bukan sebuah penantian yang panjang. Di tengah keakraban generasi muda dalam jejaring sosial dan informasi global, Moeslim Scholar seperti kita, tak ayal mesti berjuang dan bekerja lebih maksimal untuk menantang dan menjawab tantangan zaman. Dunia memang tak dapat dilipat, tapi kita mesti bisa lebih hebat.

DAFTAR BACAAN

A.M. Turmudhi, Merumuskan Keberislaman Secara Baru, dalam Prisma, Maret, 1991

Buya Syafii Maarif, Intelektual di Tengah Ekslusivisme, -----------------------------

Abdou Filali-Ansary, Pembaruan Islam, Dari Mana dan Hendak ke Mana, (Mizan: Bandung, 2009)

Ibrahim Musa, Bacaan Kader Workshop JIMM (Maarif Institute: Jakarta, 2003) Moeslim Abdurrahman, Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan (Kanisius: Jakarta, 2009)

Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas (Pustaka:Bandung, 1985)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar