Rabu, 22 Desember 2010

Gagasan

Demokrasi Indonesia melahirkan Korporatokrasi : sebuah Neokolonialisme

Oleh: Fahmi Syahirul Alim

Pasca Perang dingin berakhir dan Amerika Serikat dianggap sebagai pemenang dari perang ideologi tersebut. Sejak saat itu, AS yang mengususung ideologi Liberal dan Kapitalisme Ekonomi dianggap mengalahkan pengaruh ideologi komunis dan Sosialis yang dikampanyekan oleh Uni Soviet. Itu terbukti hingga saat ini lebih dari separuh negara-negara di dunia menganut paham Liberal dan Kapitalisme dalam sistem pemerintahan dan ekonominya, .bahkan kedua ideologi tersebut semakin kuat eksistensi dan pengaruhnya di dunia ini, terutama Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia yang memang memeliki ketergantungan ekonomi terhadap AS.

Bahkan Francis Fukuyuma dalam bukunya yang berjudul The End of History and The Last Man meramalkan bahwa “ akhir dari sejarah seperti itu : yaitu titik skhir dari evolusi ideologi peradaban manusia dan universalisasi demokrasi liberal Barat (AS) sebagai bentuk akhir pemerintahan manusia “.[1] Jika melihat fenomena dewasa ini, prediksi Fukuyama tersebut jelas tidak bisa terbantahkna lagi, peradaban Barat yang diwakali AS terus berkampanye untuk perluasan Demokrasi dalam sistem pemerintahan dan Liberalisme atau Neolibelarisme dalam sitem Ekonomi yang didasarkan pada pemikiran bahwa jika dibiarkan sendiri perekonomian pasar akan berjalan secara spontan menurut mekanisme atau “ hukum” –nya sendiri Hukum ini dipandang melekat dalam proses produksi ekonomi dan perdagangan. Salah satunya adalah hokum keunggulan komparatif (coparative advantage ) yang dikembangkan oleh David Ricardo.[2] Singkatnya Neoliberal ingin peran Negara seolah-olah dikebiri dan pasarlah yang mengendalikan perekonomian dan perdagangan internasiona (invisible hand).

Apa yang dipaparkan Francis Fukuyama tersebut memang seola-olah negara-negara di dunia ini tak mampu melawan “ide” yang dibawa oleh barat khususnya AS. Bagi AS ketika sebuah Negara tidak mau dan tidak lunak dalam menerima gagasannya yang luhur seperti penegakan HAM dan Demokrasi juga dalam hal membuka pasar, maka AS akan bersikap unilateralisme dan tidak sega-segan untuk menggunakan kekerasan (hard power). Kasus Irak contohnya, selain dituduh sebagai Negara yang memproduksi senjata nuklir, alasan AS menginvasi Irak yaitu ingin meruntuhkan rezim otoritarian Sadam Husain yang versi mereka jauh dari nilai demokrasi dan melanggar HAM warga Negara Irak. Bagaimana dengan Indonesia?. Lahirnya Negara Indonesia pada tahun 1945 dalam segi sistem pemerintahan memang sudah menganut sistem demokrasi, sebut saja dari era Demokrasi parlementer dan Demokrasi terpimpin pada era Soekarno hingga Soeharto, walaupun pada era Soeharto Demokrasi hanya sebagai symbol dan hiasan negara.

Ketika arus Reformasi bergulir di Indonesia, ada harapan bahwa nilai-nilai luhur dan prinsip-prinsip yang ada dalam Demokrasi akan dilaksasnakan sepenuhnya, diantaranya, adanya check and balances antara Lembaga-lembaga tinggi Negara, transparansi, kebebasan pers dan kebebasan berpendapat bagi semua warga nehara yang kesemuanya dilindungi oleh Undang-undang, tentu pada saat itu amandemen UUD -pun tidak bisa terhindarkan untuk merubah beberapa Undang-undang yang dinilai bertentangan dengan demokrasi dan semangat reformasi pada saat itu. Bahkan yang dianggap paling fenomenal adalah undang-undang yang mengharuskan Pemilihan Presiden langsung dipilih oleh rakyat, bahkan setelah itu kepala daerah dari tingkat kepada desa sampai Gubernur langsung dipilih oleh rakyat. Walaupun banyak meninggalkan konflik horinzontal ditengah masyarakat akibat dari sengketa dalam beberapa Pemilukada yang dilaksanakan diberbagai daerah, Indonesia tetap dipuji didunia internasional, bahkab Indonesia disebut sebagai Negara demokrasi terbesar.di dunia dan sebagai Negara yang bias mennyandingkan Islam dengan demokrasi, walupun mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam.

Sebuah Demokrasi yang mahal

Namun pujian yang dilontarkan masyarakat internasional hendaknya tidak sepenuhnya dianggap bahwa Indonesia berhasil menjalankankan demokrasi dan demokrasi tersebut sudah dapat mensejaterkan rakyat (walfare state). Perlu kita sadari bahwa cost atau biaya dalam melaksanakan “demokrasi” tersebut sangatlah mahal. Baik itu proses penyelenggaraanya maupun biaya yang dibutuhkan oleh warga Negara yang ingin mencalonbkan diri dalam beberapa pemilihan, baik itu pemilihan presiden dan wakilo presiden , pemilihan anggota DPR dari pusat hingga daerah, pemilihan anggota DPD dan pemilihan kepala daerah.yang tentu biaya tersebut untuk keperluan-keperluan dalam rangka mempengaruhi, mengajak dan “ membeli’ hati konstituen agar memilih mereka. Maka tak jarang beberapa kandidat yang gagal dalam arena pemilihan-pemilihan tersebut langsung “bangkrut” berhutang, mengalami stress berat, bahkan berujung pada kematian (bunuh diri).

Oleh karena itu, dewasa ini bagi yang tidak mempunyai dana mumpuni, kemudian dia berhasil memenangi suatu pemilihan maka hal tersebut bisa dikatakan merupakan suatu keajaiban, kenapa demikian? karena di Indonesia pemilihan-pemilihan baik itu pemilihan Presiden, anggota DPR dan kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, tak cukup hanya mempunyai kapabilitas dan kredibilitas seorang kandidat, namun faktor yang terpenting adalah sejauh mana popularitas dari kandidat tersebut ditenga-tengah masyarakat

Dan perlu dicatat bahwa mayoritas konstituen di Indoensia yaitu berasal dari kalangan masyarakat akar rumput yang rata-rata tarap pendidikanya rendah, dan tentu bagi mereka sekedar mengetahui (poularitas) kandidat yang maju dalam perhelatan pemilihan, maka itu cukup untuk memilih kandidat tertentu. Untuk mengetahui kredibilitas dan kapabilitas dari seorang kandidat bagi mereka cukup berat, karena mereka tidak memiliki wawasan dan keilmuan yang cukup. Itu penulis alami ketika penulis berkesempatan menjadi surveyor dari sebuah Lembaga Survey ternama di lokasi pedesaan, Sembilan dari sepuluh jumlah responden terpilih yang sudah dirandom sesuai dengan metodologi lembaga survey yang bersangkutan, pendidikan terakhir kesembilan responden tersebut adalah Sekolah dasar (SD), dan bagi mereka kandidat yang mereka pilih adalah kandidat yang mereka ketahui saja (ketika tahu langsung menentukan ).

Fenomena seperti itu tentu menjadikan popularitas menjadi lebih penting daripada kredibilitas, kapabilitas dan kapasitas dari seorang kandidat, ketika dia ingin dipilih oleh konstituen. Dan strategi untuk meningkatkan popularitas tersebut tak lain adalah dengan menggunakan jasa iklan media, baik itu cetak maupun elektronik, pemasangan berbagai spanduk dan lain sebagainya. Kesemua itu tentu membutuhkan biaya yang mahal., bahkan bagi kandidat yang punya “modal” besar dia bias memakai jasa konsultan politik, seperti halnya konsultan politik FOX pimpinan Coel Malarangen, yang berhasil memenangkan pasangan SBY-Budiono pada Pilpres 2009. Kemudian untuk mengetahui kadar popularitas di masyarakat, mereka menggadeng Lembaga-lembaga Survey ternama, seperti Lembaga Survey Indonesia (LSI) versi Saeful Mujani dan Lingkaran Survey Indonesia (LSI) versi Deny JA, yang konon tiap pertanyaan dalam kuisioner mempunyai harga masing-masing. Maka terlihat bahwa demokrasi di Indonesia saat ini menjadi sebuah komersialisasi bahkan menjadi lahan industri bagi kalangan-kalangan tertentu

Fenomena Korporatokrasi

”A word came to my mind : corporatrocracy. I was not sure wether I had heard it before or had jus invented it, but it seemed to describe perfectly the new elite who had made up their minds to attempt to rule the planet”[3]

-John Perkins-

Apa yang diucapkan oleh Perkins dalam bukunya tersebut tentu karena dia menemukan kejanggalan dalam sistem perekonomian dunia ini , sehingga menjadi suatu keharusan ketika hati nuraninya berkata untuk membeberkanya kepada publik. Dan kemunculan buku Perkins tersebut tentu menuai kontroversi, dan menjadi hal yang tidak dissukai bagi kalangan-kalangan yang merasa tersindir oleh ucapan Perkins tersebut. Secara sederhana Amin Rais dalam bukunya yang berjudul Selamatkan Indonesia mengemukakan bahwa Korporatokrasi dilukiskan sebagai sistem kekuasaan yang dikontrol oleh berbagai korporasi besar, bank-bank internasional dan pemerintahan.[4]

Kembali pada sebuah demokrasi yang mahal, maka ketika “ongkos” untuk mencapai kekuasan sangat mahal karena adanya prosedural yang dilahirkan dari demokrasi, maka peluang itu dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang mempunyai dana besar untuk menjadi sponsor dalam mensukseskan pihak yang ingin menjadi penguasa tersebut yang nantinya tentu menduduki jabatab srategis dalam suatu pemerintahan. Dalam hal ini sponsor itu tak lain adalah pengusaha-pengusaha yng mempunyai perusahaan besar, atau MNC-MNC ( Multi National Compenies) yang mempunyai kepentingan di Negara tersebut. Maka disini terlihat bahwa keadaan tersebut sangat dimanfaatkan oleh kalangan-kalangan corporate, sehingga karena diabantu oleh corporate –corporate dari segi pendanaa maka tentu penguasa yang menang sudah pasti mempunyai “kontrak” atau perjanjian dengan pihak sponsor. Inilah yang melahirkan Korporatokrasi.

Adanya “gerombolan” korporatokrasi tersebut tentu sangat merugikan rakyat, pemerintah yang seyogyanya melayani kepentingan rakyat, malah menjadi budak dari para corporate yang memiliki modal besar. Korporasi-korporasi tersebut tentu sangat diuntungkan dengan semakin kuatnya sistem ekonomi kapitalis, yang jauh dari kepentingan rakyat kecil yang masih membutuhkan peran Negara dalam membangun perekonomiannya, tidak seperti sistem kapitalis yang membiarkan pasar mengendalikan perekonomian. Adapun ciri-ciri dari sistem Ekonomi kapitalis adalah, pertama, Hak milik Pribadi, Kedua, Kebebasan berusaha dan Kebebasan memilih, Ketiga, motif kepentingan diri sendiri, Keempat, menciptakan persaingan. Kelima, Harga ditentukan oleh mekanime pasar. Keenam, Peranan terbatas pemerintah.[5]

Korporatokrasi tentu akan semakin subur ketika didukung oleh sistem kapitalis, dimana yang mempunyai dana besar maka akan semakin berkuasa dan menjajah suatu bangsa yang masih dalam perjalan menuju bangsa dan Negara yang mapan secara ekonomi maupun politik sedangkan mempunyai Sumber daya alam yang banyak dan belum tereksplorasi.. Dalam hal ini sejatinya pemerintah Indonesia harus semakin sadar dengan keberadaan corporate-corporate besar, yang menjajah dengan cara lain ( Neokolonialisme) yaitu penjajahan dalam hal ekonomi. Padahal para founding fathes bangsa ini selalu mewanti-wanti akan bahaya Neokolonialisme, yaitu penjajahan dalam bentuk baru, penjajahan yang tidak harus menduduki dan menguasai wilayah suatu Negara, penjajahan yang tidak harus menggunakan senjata. Cukup dengan berkedok sebagai perusahaan transnasional (TNC/MNC) dengan mengeruk sumber daya alam dan mendanai para inlander yang tidak punya rasa nasionalisme akan bangsanya.untuk menjadi penguasa lalu kemudian didikte oleh “empunya” fulus.

Kemudian Yang menjadi pertanyan adalah seberapa parahkah korporatokrasi menggerogoti bangsa ini?. Akhir- akhir ini kita semua dihebohkan dengan kasus mafia pajak Gayus Tambunan, terlebih ketika dia ditahan berhasil pelesiran ke Bali dan kabar yang beredar Gayus bertemu pengusaha kelas kakap di negeri ini. Dalam kasus ini terlihat jelas dimana Negara, dibawah pemerintahan Presiden SBY nampaknya tidak mampu atau mungkin tidak berani mengungkap perusahaan-perusahaan besar yang memang pengemplang pajak cukup besar dan tentu sangat merugikan Negara. Atau mungkin kareana perusahaan-perusahaan tersebut berjasa dalam pemenangan SBY menjadi Presiden RI pada Pilpres 2009 lalu?. Penulis tidak berani menuduh , namun tentu kita mempunyai penilaian masing-masing dengan selalu mengikuti perkembangan kasus tersebut melaui media, tetapi tentu media itu adalah media yang independen bukan media yang “manut” pada sang “empunya” media. Wallahualam…..

Referensi

Fukuyama, Francis. 1989. The End of History. New York : Avon

Jakcson, Robert & Sorensen, Georg . 2005. Pengantar study Hubungan internasional. Yogyakarta :Pustaka Pelajar.

Rais, Amin 2008 Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia. PPSK Press, Yogyakarta

Ricardo, David. 1973The Principles of Political Economy and Taxation. London : Dent

Tambunan, Tulus.2003. Perekonomian Indonesia : Beberapa Masalah Penting. Jakarta : Ghalia Indonesia.



[1] Fukuyama, Francis. 1989. The End of History. New York : Avon dikutip dari Jakcson, Robert & Sorensen, Georg . 2005. Pengantar study Hubungan internasional. Yogyakarta :Pustaka Pelajar. Hlm 163

[2] Yang dimaksud Covarative advantage adalah aktivitas komersial yang dijalankan secara bebas dari perbatasan nasional akan membawa keuntungan bagi semua partisipan sebab perdagangan bebas menjadikan terjadinya spesialisasi dan spesialisai meningkatkan efesiensi, sehingga meningkatkan produktivitas. Lihat Ricardo, David. 1973The Principles of Political Economy and Taxation. London : Dent

[3] Perkins, John. 2006. Confessions of an Economic Hit Man. London : Penguin Books.Ltd dikutip dari Rais, Amin 2008 Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia. PPSK Press, Yogyakarta

[4] Rais , Ibid hlm 81

[5] Tambunan, Tulus.2003. Perekonomian Indonesia : Beberapa Masalah Penting. Jakarta : Ghalia Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar