Gagasan Hasan Hanafi Tentang Kiri Islam dalam menjawab tantangan globalisasi
Oleh: Widian
Pendahuluan
Dunia Islam kini sedang menghadapi ancaman yang berasal dari luar yaitu Imperialisme, Zionisme, dan kapitalisme. Sedangkan faktor dari dalamnya adalah kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan. Umat Islam, terutama kelompok miskin tertindas, di era globalisasi kapitalisme akan menghadapi gelombang kemiskinan struktural yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Golongan Muslim miskin membutuhkan teologi, paradigma dan analisis sosial yang memihak pada mereka. Itulah teologi bagi kaum tertindas, teologi yang membebaskan mereka dari ketertindasan dan eksploitasi global. Bagi golongan miskin dan marjinal, kehadiran globalisasi lebih membawa ancaman ketimbang berkah.
Upaya kritis untuk menyelesaikan permasalahan ini harus segera dilakukan demi menyelamatkan Islam dari kemunduran dan benturan bertubi-tubi dari arus global. Tumpuan utama kemunduran tersebut jelas berawal dari kemiskinan yang melanda sebagian besar masyarakat di negeri-negeri muslim sendiri. Efek domino atas fenomena kemiskinan muncul dalam beragam wajah dan gejala, dari kemerosotan moral, kriminalitas, masalah kesehatan, kedaulatan dan independensi negara, bahkan sampai menghambat aktivitas ritual keberagamaan umat.
Hasan Hanafi mewacanakan tentang keharusan bagi dunia islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan progresif, dengan dimensi pembebasan didalamnya. Gagasan akan keadilan sosial yang harus ditegakkan kalau manusia ingin berfungsi sebagai pelaksana fungsi ketuhanan di muka bumi. Ini hanya bisa diwujudkan jika ada para pejuang pembebasan umat manusia yang tergabung dalam kegiatan yang terorganisasi yang mengarah pada tujuan pembebasan tersebut. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi gagasan Hasan Hanafi mengenai Islamic Left atau kiri Islam.[1]
Hasan Hanafi mengacu pada sosialisme dan memodifikasi pemikiran Marxisme-Leninisme. Modifikasi disini artinya bahwa hakikat materealistik dari determinisme historis yang meniscayakan kehancuran ideologi-ideologi besar modern ditolak secara tegas. Determinisme historis yang meniscayakan kebebasan manusia itu diberi roh non materealistik.[2]
Bisa disimpulkan bahwa hasan hanafi mencoba untuk menjadikan pemikiran kiri islam sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan. Gerakan kiri islam ini ditujukan guna menggerakan gerakan sosial revolusioner yang mengusung gagasan pembebasan melalui penghancuran konstruk lama yang serba reaksioner dari feodalisme dan kapitalisme.
Pengertian kiri islam
Istilah kiri islam yang dimotori oleh hasan hanafi merupakan upaya untuk menggali pendewasaan makna revolusioner dari islam, sebagai konsekuensi logis dari keberpihakannya kepada umat yang lemah dan tertindas. Makna kiri dalam pengertian hasan hanafi ini merupakan sebuah gerakan revolusi (moral-moral revolution govement) untuk memperjuangkan harkat dan martabat kaum tertindas, sehingga persamaan (egalitarian) dan keadilan umat manusia sejajar satu sama lain.
Inilah sesungguhnya, secara teologis, misi diciptakannya manusia oleh tuhan sebagai wakil tuhan dalam melaksanakan fungsi ketuhanan di muka bumi. Dengan demikian, kiri merupakan kritisisme religius dalam persoalan sosial ekonomi yang berpangkal dari tataran normatif ke pro aktif yang dalam istilah hasan hanafi disebut “Dari Akidah Menuju Revolusi”. Secara umum, konsep kiri selalu diartikan secara politis-ideologis yang cenderung radikal, sosialis, reformis, progresif atau bahkan liberal. Dengan demikian, secara garis besar kiri selalu menginginkan adanya progresifitas untuk menolak status quo.[3]
Bila kita cermati lebih lanjut, kiri islam-nya hasan hanafi merupakan sintesa dari sistem ideologi kapitalisme yang gagal mengangkat martabat manusia. Latar belakang kemunculan kiri islam hasan hanafi juga tidak lepas dari adanya persaingan kedua ideologi kapitalisme dan sosialisme. Hasan hanafi relatif mampu melakukan modifikasi konsep sosialisme yang materialistik dan determinisme historik.
Ini dilakukan supaya islam yang sejak awalnya merupakan sistem kehidupan yang membebaskan kaum tertindas tetap dipertahankan dan menjadi suatu sistem ideologi yang populistik (ideologi kaum tertindas) yang selama ini selalu diklaim sosialisme. Hal inilah yang menjadi kesimpulan dan pilihan hasan hanafi yang menamakan gerakannya dengan kiri islam yang selalu mengedepankan progresifitas religius dan pranata-pranata lainnya yang bersifat spiritualitas dan historis.
Kiri islam merupakan sintesis dari eksplorasi dan tafsir ulang yang cerdas terhadap khasanah keilmuan islam dan juga dari analisis konsep Marxian atas kondisi obyektif serta tradisi yang mengakar pada rakyat. Kiri bertumpu pada tataran tiga metodologi, sejarah Islam, fenomenologi dan analisis sosial marxian.
Oksidentalisme: suatu sikap atas tradisi Barat
Hasan Hanafi dengan kiri islamnya sangat menentang peradaban barat, khususnya imperialisme ekonomi dan kebudayaan. Hasan hanafi memperkuat umat islam dengan memperkokoh tradisinya sendiri. Karena itu, tugas kiri islam adalah pertama, melokalisasi barat pada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos dunia barat sebagai pusat peradaban dunia serta menepis ambisi kebudayaan barat untuk menjadi paradigma kemajuan bagi bangsa-bangsa lain. Kedua, mengembalikan peradaban barat pada batas-batas kebaratannya. Asal-usulnya, kesesuaian dengan latar belakang sejarahnya, agar barat sadar bahwa terdapat banyak peradaban dan banyak jalan menuju jalan kemajuan. Ketiga, hasan hanafi menawarkan suatu ilmu untuk menjadikan barat sebagai objek kajian. Oksidentalisme bagi hasan hanafi merupakan suatu upaya menandingi orientalisme dan meruntuhkannya hingga ke akar-akarnya. Untuk mengembalikan citra islam, ia memberikan jalan dengan melakukan reformasi agama, kebangkitan rasionalisme dan pencerahan.
Munculnya oksidentalisme pada mulanya hanyalah gagasan yang lebih bersifat reaksi ketimbang sebuah proyek peradaban yang mempunyai tujuan tertentu. Dalam kaitan ini, ada indikasi ketidakpuasan terhadap kajian-kajian Barat dan kebaratan yang sudah ada. Pertama, karena kajian - kajian semacam itu merupakan produk Barat yang notabene tidak bisa lepas dari bias dan subyektivitas. Kedua, kajian semacam itu tidak lebih dari sebuah promosi peradaban orang lain yang kurang (untuk tidak mengatakan kosong) dari kritisisme. Lebih dari sekedar alasan ini, nampak kelahiran oksidentalisme didorong oleh faktor emosional atas kesalahan - kesalahan dari Barat yang dialami dunia Timur pada umumnya dan dunia Islam khususnya. Barat dengan segala implikasinya telah berjaya menguasai Timur. Penguasaan, atau lebih tepatnya kolonialisme, Barat atas Timur ini dalam perjalanan sejarahnya tidak bisa dipisahkan dari orientalisme. sehubungan dengan hal ini, Ahmad Sahal mengemukakan :
“Orientalisme adalah konsep Barat mengenai the Otherness dari dunia Timur. Sejak renaissance, Barat menemukan kesadaran humanisme sebagai identitas budaya mereka, sertamerta timbul definisi the Other dari budaya non - Barat. Timur adalah dunia lain karena penuh misteri, eksotik, aneh, bermental pasif, dan seterusnya. Artinya, Timur harus `divisualisasikan`. Proyek sivilisasi lalu menjadi pembenaran ideologis bagi berlangusngnya kolonialisme. Humanisme, orientalisme, dan kolonialisme dalam sejarahnya ternyata berjalan paralel. Tidak heran bila sistem pengetahuan orinentalisme selama berabad - abad menjadi alat kepentingan kolonialisme. Karena, mengetahui Timur identik dengan menguasainya”.[4]
Dengan demikian, terbentuknya oksidentalisme adalah sebagai upaya untuk menangkis serangan Westernisasi yang sudah semakin meluas saja wilayah jangkauannya, tidak saja terbatas dalam kehidupan seni dan budaya, melainkan sudah meluas ke dalam tata - cara kehidupan sehari - hari. Westernisasi adalah bagian tak terpisahkan dari alienasi, yaitu saat berpindahnya subyek diri (ego) kepada yang lain (the other).[5] Seseorang yang terbaratkan adalah yang sudah alamiahnya, menjelaskan proporsinya, asal - usulnya, kesesuaiannya dengan situasi kesejahteraan tertentu, jenis religiusitas dan karakteristik masyarakatnya sehingga dapat dihadapkan pada peradaban non Eropa, untuk memperlihatkan bahwa terdapat banyak model peradaban dan banyak jalan menuju kemajuan.
Kesimpulan
Hasan Hanafi adalah cendikiawan muslim yang berkeyakinan bahwa tradisi agama mempunyai pijakan ideologis yang kuat untuk menggerakkan perubahan sosial. Pengelaborasian tradisi lama dengan abstraksi dari basis material massa dan kebudayaan dari ideologi-ideologi modern merupakan pertautan menarik diantara bangunan epistemologi dari sebuah paradigma. Tradisi lama akan dianggap efekti dalam menggerakkan massa, karena ia berakar dan melembaga sebagai tradisi dalam masyarakat, sedangkan abstraksi ideologi modern dapat memberikan spirit untuk mengarahkan nuansa progresivitas gerakan massa.
Melalui gagasan kiri Islam, Hasan Hanafi ingin menginginkan adanya pertautan antara agama dan revolusi. Sehingga agama bisa dijadikan alat untuk membebaskan manusia dari penindasan yang dilakukan penguasa. Agama harus mampu menggerakan semangat rakyat untuk melakukan revolusi demi terciptanya masyarakat tanpa klas.
Sedangkan konsep oksidentalisme, menurut gagassan Hasan Hanafi, berusaha untuk menyeimbangkan pola pikir antara Barat dengan Timur. Jika selama ini Barat selalu menganggap Timur sebagai Obyek, maka oksidentalisme Hanafi, mencoba membalik pemikiran ini dengan menjadikan Barat sebagai obyek yang diteliti oleh Timur.
Jika kedua konsep ini digabungkan maka masyarakat Islam mampu hidup rukun tanpa klas, dan peradaban dunia milik semua manusia. Tidak ada lagi dikotomi penindas dan tertindas, barat dan timur, kaya dan miskin, karena semuanya sama baik dari segi material maupun dari segi peradaban.
[1] Listyono Santoso, Epistemologi Kiri, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2003, Hlmn 272
[2] Ibid, hlmn 273
[3] M. Arifin, MA dalam acara “Workshop Pemikiran Ulama Kontemporer” yang diselenggarakan oleh Keluarga Pelajar Jakarta (KPJ) peiode 2003-2004 di Wisma Nusantara pada tanggal 26-27 Agustus 2004.
[4] Ahmad Sahal. “Orientalisme :Hegemoni Kultural” dalam Ulumul Qur`an Vol. III, No. 3, tahun 1992, hlmn 32
[5] Hassan Hanafi, Muqadimah fi`ilm al - Istigharab (Kairo; Darul Faniah, 1991) hlmn 25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar